13 Desember 2010

MAKAM GIRI CEMENTHOKO

Makam ini di berlokasi di Bukit Satria Desa Kaliwatubumi Kec. Butuh Kabupaten Purworejo. Tokoh-tokoh yang dimakamkan di sini adalah berkaitan dengan sejarah Kadipaten (Kabupaten) Kutoarjo. Bupati-bupati yang menjabat di Kadipaten Kutoarjo di antaranya yaitu :

1. Raden Tumengung Soerokoesoemo

2. Raden Tumenggung Pringgoatmojo sampai tahun 1870.

3. Pangeran Poerboatmodjo.

Nama asli Pangeran Poerboatmodjo adalah Raden Mas Toekijo, putra dari Mas Tumenggung Pringgoatmodjo (Raden Mas Sarimin). Kemudian Raden Mas Toekijo menjabat Mantri Pengairan Boro, karena jasanya diangkat :

a. Dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal di Bogor tanggal 19 Oktober 1870 menjadi Regent (Bupati) Kutoarjo.

b. Dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal di Bogor tanggal 30 Juli 1887 dianugerahi gelar Adipati hingga gelar dan nama selengkapnya adalah Raden Adipati Toekijo Poerboatmodjo.

c. Dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal di Bogor tanggal 1 Oktober 1910 dianugerahi gelar Pangeran hingga gelar dan nama selengkapnya adalah Pangeran Toekijo Poerboatmodjo.

4. Raden Tumenggung Poerbohadikoesoemo sampai tahun 1933.

Pada tahun 1933 Kabupaten Kutoarjo digabungkan menjadi satu dengan Kabupaten Purworejo dengan Bupati R.A.A. Hasan Danoeningrat dan selanjutnya Kutoarjo berstatus sebagai kawedanan.

Pada masa kepemimpinan R.T. Pringgoatmojo mempunyai penasehat spiritual yaitu Eyang Giri Cementhoko yang berasal dari keturunan Raja Mataram yang mengemban tugas agar bertapa di Gunung Satria, Desa Kaliwatubumi Kecamatan Butuh. Keduanya sepakat apabila meninggal dunia mereka akan dikebumikan secara berdampingan di Gunung Satria Desa Kaliwatubumi Kecamatan Butuh. R.T. Pringgoatmodjo lalu membeli tanah di Gunung Satria tersebut untuk tempat pemakaman beliau dan Eyang Giri Cementhoko beserta keluarga. Kemudian menyusul keluarga Bupati R.T. Pringgoatmodjo antara lain :

a. Pangeran Poerboatmodjo – Bupati Kutoarjo masa 1870 – 1915.

b. R. Adipati Aryo Poerbokoesoemo – Bupati Kutoarjo masa 1915 – 1933.

c. R. T. Poerboatmodjo Adi Surjo Bupati Kendal putra dari R.A.A. Poerbokoesoemo.

Makam Eyang Giri Cementhoko dibuat cungkup yang tertutup. Di sebelah timur terdapat makam R.T. Pringgoatmojo beserta istrinya, sedangkan di belakang (utara) makam R.T. Pringgoatmodjo terdapat Yoni berukuran 96 x 96 cm, dan tinggi 80 cm. Pada bagian tengahnya terdapat lubang persegi berukuran 28 x 28 cm sedangkan ceratnya patah.

Makam R. Adipati Aryo Poerbokoesoemo dan makam R.T. Poerboatmodjo Adi Surjo (Bupati Kendal) berada di sebelah selatan Makam Giri Cementhoko. Kondisi bangunan makam Bupati-bupati tersebut baik jirat maupun nisan sudah diganti bahan baru.

Pada tahun 2007 cungkup Makam Eyang Giri Cementhoko di pugar oleh Dinas Kebudayan dan Pariwisata Kabupaten Purworejo dengan anggaran APBD II Tahun 2007.

GEREJA KYAI SADRACH

Pada tahun 1841 di desa Dukuhseti wilayah Kabupaten Kediri Jawa Timur lahir seorang bayi yang diberi nama Radin. Anak tersebut hidup terlantar karena ketika ia masih kecil telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Sejak kecil ia hidup mengembara mengadu nasibnya dengan meminta-minta belas kasihan dari sesama umat yang dengan rela menaruh belas kasihan padanya. Betapapun penderitaan yang ia pikul, ia terima dengan keikhlasan hati karena berkeyakinan bahwa penderitaan semacam itu pastilah tidak akan menimpa dirinya untuk selama-lamanya.

Pada suatu saat, datanglah seorang Guru pengajar Agama Islam yang menaruh belas kasihan kepadanya untuk menolongnya dan dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Dan setiap hari diajarnya pengetahuan Agama Islam. Sebagai murid dalam ilmu Agama Islam ia tergolong anak yang paling pandai, dan oleh sang guru Radin diberi nama tambahan sehingga lengkapnya Radin Abbas. Melihat daya kemampuannya, maka Radin Abbas kemudian dipondokkan di Pondok Pesantren Jombang. Pada perjalanannya dari Demak ke Jombang ditempuhnya dengan perjalanan kaki saja. Karena daya tangkap dalam menerima pelajaran, dalam sebentar mendengar pelajaran dengan mudah memahami maksudnya.

Dalam mengikuti pelajaran di Pondok Pesantren Jombang itu, ia sering pergi ke Mojowarno untuk mengikuti pelajaran Agama Kristen yang diajarkan oleh DS. JELLESMA. Minatnya sangat tertarik dengan pelajaran Kristen melalui Injil. Radin Abbas berhati keras dan progresif. Ia menyatakan menjadi murid Ds. Jellesma untuk mendalami pengetahuan Agama Kristen. Oleh karena ia ingin mencari kebenaran Allah, dari Pondok Pesantren Jombang ia memasuki Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo. Tak lama kemudian Radin Abbas pindah ke Semarang dan berguru kepada seorang pendeta Kristen Ds. Hoczoo. Setiap hari Minggu ia rajin pergi ke gereja. Di Semarang ia berkenalan dengan seorang Kyai Kristen bernama Ibrahim Tunggul Wulung. Ia tertarik atas pelajarannya dan akhirnya menyatakan berguru kepada Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, dan terus menyatakan sebagai seorang yang telah memeluk agama Kristen.

Dalam tahun 1865 Radin Abbas berkenalan dengan Mr. Anthing seorang petugas pengadilan di Semarang. Oleh karena kariernya, Mr. Anthing diangkat sebagai Wakil Kejaksaan Tinggi di Batavia. Dan disamping tugasnya dalam dinas governmentnya, Mr. Anthing juga mendirikan pendidikan Calon Penyebar Agama Kristen. Pada suatu waktu Radin Abbas dan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung pergi ke Batavia. Oleh Mr. Anthing, Radin Abbas diterima sebagai anak buahnya dan ia menerima pembaptisan tanggal 14 April 1867 dengan nama baptisnya Sadrach. Sehingga nama lengkapnya menjadi Sadrach Radin Abbas, yang waktu itu berusia 26 tahun.

Dengan seijin Mr. Anthing, Sadrach Radin Abbas akan kembali ke Jawa Tengah. Perjalanannya akan ia tempuh dengan berjalan kaki saja : Batavia – Bandung – Cirebon – Tegal – Semarang – Bendo. Disetiap kota yang ia lalui, ia mengunjungi gereja-gereja Kristen yang ada. Setelah dapat bertemu dengan Kyai Tunggul Wulung, ia melanjutkan perjalanannya ke Jawa Timur : Surabaya – Mojowarno.

Mendengar kabar bahwa di Purworejo telah berdiri Pekabaran Injil yang dipimpin oleh Ny. Philips di Tuksongo; maka rombongan Sadrach pergi dan datang di Tuksongo Purworejo untuk menyaksikan tentang adanya berita yang didengar. Ternyata beritanya adalah benar dan nyata. Akhirnya Sadrach menetap di Purworejo dan membantu tugas Ny. Philips. Dimana atau di daerah mana banyak orang yang menentang Kristen, disitulah tugas Sadrach.

Cara Sadrach memperluas pengikutnya dengan cara ending sistim, door to door didatangi secara langsung berganti-ganti rumah. Mengadakan kebaktian secara bersama dilaksanakannya pada tahun 1871 (berdiri gereja) tempat kebaktiannya dipindahkan di Dukuh Karangjoso Desa Langenrejo Kecamatan Butuh Kabupaten Purworejo. Dan itulah didirikan rumah kebaktian di Karangjoso.

Sadrach dalam menyampaikan Pekabaran Injil secara khas Jawa dengan segala bentuk dan methodanya sendiri. Tugas Sadrach dibantu oleh Ny. Philips dalam menterjemahkan dari Bahasa Asing ke Bahasa Jawa.

Sadrach memperistri putri dari pemilik Rumah Peribadatan di Karangjoso. Karena dalam perkawinannya itu tidak dikaruniai keturunan, mereka mengangkat anak yang bernama Yothan putra dari Markus. Oleh karena usaha-usahanya dalam ikut Penyebaran Agama/Injil, maka nama Sadrach tercantum dalam Daftar Anggota Gereja Belanda. Oleh Sadrach para muridnya ditugaskan secara terpencar di seluruh Jawa Tengah untuk penyiaran Agama Kristen/Injil. Pada suatu ketika Sadrach bersama Ny. Philips mengadakan peninjauan ke pelosok, untuk melihat tentang penyebaran Injil yang biayanya dari Gereja Belanda. Akhirnya karena sakit Ny. Philips meninggal dunia 23 Mei 1876 dalam usia 51 tahun. Sejak itu Sadrach bertekad akan bekerja keras untuk melanjutkan akan kelangsungan Kristen Jawa. Ia menyebut dirinya Suropranoto yang berarti Berani Mengatur Sendiri. Dan ia menamakan Kristen Jawa Mardika.

Setiap hari Selasa Kliwon, di Karangjoso merupakan hari Pertemuan Besar. Pada waktu berjangkitnya wabah cacar, orang-orang disekitar gereja Karangjoso banyak yang tidak mencacarkan dirinya, karena tidak setuju adanya pencacaran dipaksakan. Akhirnya diketahuilah oleh Government dan Gereja Karangjoso ditutup dan rumah Sadrach digeledah karena diperkirakan bahwa ia akan memberontak terhadap Government tahun 1882.

Peristiwa yang disebut Jumat Wage adalah waktu peristiwa Sadrach diasingkan. Sedang sebagai Pemimpin Kebaktian dilakukan oleh Ds. Bieger dari Purworejo. Atas pengumuman Residen, Sadrach agar dikurung di rumah Ds. Bieger. Tanggal 10 Juni 1882 Sadrach terbebas dan kembali memimpin kebaktian di Gereja Kristen Jawa di Karangjoso. Tanggal 14 Nopember 1924 Sadrach meninggal dunia. Sepeninggal Sadrach para jamaah dipimpin oleh Yothan dan tentang kegerejaan diserahkan kepada Zending pada 1 Mei 1933. Para peserta yang setia kepada kerasulan menyingkir ke desa sebelah yaitu Desa Ketug, Kec. Butuh, Kab. Purworejo.

Barang-barang peninggalannya :

a. Rumah kediaman Sadrach

b. Gereja yang masih dipakai sekarang

c. Cucu Yothan sebagai Guru Injil

d. Keris, jubah, kursi dan tempat tidur

Data :

1. Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Purworejo.

2. Foto : Gereja (tahun 2008) Widiharto dan Eko Riyanto

08 Desember 2010

JAMASAN TOSAN AJI

Bertempat di halaman Museum Tosan Aji Purworejo, pada hari Selasa tanggal 7 Desember 2010 dilaksanakan kegiatan Prosesi Jamasan Tosan Aji. Penyelenggara kegiatan adalah kelompok pecinta tosan aji “Paseban Risang Aji” bekerja sama dengam Museum Tosan Aji Purworejo.

Kegiatan dihadiri oleh para pecinta tosan aji, guru MGMP Bahasa Jawa, siswa dan mahasiswa. Dalam sambutannya Drs. Bambang Aryawan, MM selaku Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menyambut hangat dilaksanakannya kegiatan tersebut, sebagai salah satu cara untuk melestarikan budaya adiluhung bangsa Indonesia.

Dalam prosesi ini dijamas keris Sabuk Inten luk 11 buatan abad XVI karya agung Mpu Supo dengan tangguh Mataram. Penjamas Tri Yuliana, SE, Kepala Museum Tosan Aji Purworejo.

Menjelang akhir kegiatan disampaikan seluk beluk penggunaan keris oleh Bapak Oteng Suherman.