05 Desember 2014

AHMAD YANI PAHLAWAN DARI PURWOREJO #1


Ahmad Yani masih berpangkat Kolonel, 1958
Desa Rendeng (membaca huruf “e”-nya seperti “e” pada kata “pare”) Kecamatan Gebang Kabupaten Purworejo, menyimpan sejuta kisah tentang Ahmad Yani. Salah satu Pahlawan Revolusi. Di desa yang terletak kurang lebih 7 kilometer dari pusat kota Purworejo inilah kedua orang tua beliau tinggal.  Nama ayahnya adalah Sardjo dengan nama tua Wongsoredjo kadang dipanggil dengan nama  Wongso atau Wongso Rendeng atau (para putra/ putri pak Yani memanggilnya dengan nama) Mbah Rendeng.   Ibu beliau bernama Murtini.    
Keluarga Wongsoredjo  dahulu mengabdikan diri pada keluarga Meneer Bos, salah seorang adminstratur pabrik gula di desa Jenar (sekarang masuk wilayah administrasi Kecamatan Purwodadi Kab. Purworejo).  Desa Jenar kurang lebih 20 kilometer jaraknya dari desa Rendeng.   Di perumahan pabrik gula yang berada di desa Jenar inilah Ahmad Yani lahir, pada 19 Juni 1922.  Beliau memiliki adik bernama Asmi dan Asinah.  (Untuk membaca sejarah pabrik gula di Jenar silahkan klik disini).
Bp. Wongsoredjo
Pada tahun 1927 keluarga pak Wongsoredjo pindah ke Batavia dan bekerja pada Jenderal Belanda bernama Halfstein. Pada masa inilah Yani kecil mulai sekolah Freobel (Taman Kanak Kanak). Ketika keluarga Halfstein ini pindah ke Belanda, pak Wongsoredjo pindah ke Ciawi, Bogor ikut keluarga yang masih bersaudara dengan Halfstein. Pada 1929 pak Yani masuk HIS (setingkat SD). Ketika menyelesaikan MULO (setingkat SMP) pak Yani meneruskan sekolah di AMS. Diteruskan sekolah Topografi di Malang selama 6 (enam) bulan, dan sekeluarnya dari sana menjadi Topografische Dienst dengan gaji 120 gulden. Dan ketika tahun 1942 Belanda menyerah kepada Jepang, bersama itulah keluarga pak Wongsoredjo bersama pak Yani pulang ke Rendeng.   
Ibu Murtini
Pada masa Jepang masuk Indonesia, pak Yani masuk sebagai tentara Pembela Tanah Air / PETA, dan ditempatkan di Prembun. Di kesatuan PETA, untuk dapat menjadi menjadi Sho Dan Co, salah satu syaratnya adalah dapat mengetik. Kemudian beliau ikut kursus mengetik di Purworejo. Kursus “ARTI’ yang salah satu gurunya adalah bernama Yayuk Ruliah Sutodiwirjo, seorang gadis yang kelak menjadi istrinya.  

Bersambung…

Sumber :
1. Buku AHMAD YANI : sebuah kenang kenangan oleh Ibu Yani – Jayakarta Agung Offset 1984.
2. Buku Profil Seorang Prajurit oleh Amelia Yani – Pustaka Sinar Harapan 1988

07 November 2014

GEDUNG SMPN 2 (DULU : EUREPESE LAGERE SCHOOL/ ELS)

Gedung Europese Lagere School tahun 1930-an
Bangunan didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1917 sebagai ELS (Europese Lagere School) yaitu diperuntukkan anak-anak Eropa yang mengikuti orang tuanya tinggal di Purworejo. Bangunan tersebut terdiri dari tujuh ruang belajar, sebuah bangsal olahraga, serambi panjang menuju KM/WC dan gudang.
Bangunan  ini terletak ditengah, sedangkan disebelah utara terdapat bangunan baru bertingkat.
Sejak 17 Agustus 1946 diresmikan oleh Bupati Purworejo R. Moeritno Reksonegoro dipakai sebagai Sekolah Kabupaten.
Tanggal 21 Juli 1947 sekolah ditutup dan alat-alat penting diungsikan disebabkan terjadi clash pertama dan tanggal 1 September 1947 dirubah menjadi SMP Negeri 2 Purworejo sampai sekarang.

Sumber : Bidang Kebudayaan Dinas Dikbudpora Kab. Purworejo 

GEDUNG SMP N 1 (DULU HOLLANDS INDISCHE SCHOOL/ HIS)



Gedung HIS tahun 1934-an
Selesai dibangun pada tanggal 27 Juli 1934 yang dipakai untuk HIS (Hollands Indische School) sampai tahun 1947. Setelah itu dipakai oleh SMP Negeri 1 sampai sekarang.
Bangunan sekolah terdiri dari bangunan induk dan bangunan penunjang. Bangunan asli Adalah bangunan induk yang terdiri dari 8 ruang kelas, ruang BP, 1 ruang aula, kamar mandi dan WC.
Disamping bangunan tersebut dipakai sebagai sekolah, aula tersebut juga dipergunakan sebagai tempat hiburan siswa HIS.

Sumber : Bidang Kebudayaan Dinas Dikbudpora Kab. Purworejo

GEDUNG SEKRETARIAT DAERAH (DULU : KANTOOR OTONOOM / KANTOR BESAR)

Gedung Setda Tahun 2014
Gedung Setda tahun 1950an
Pada masa kolonial, setelah berakhirnya perang Diponegoro pada tahun 1830, Kadipaten Bagelen dilepas dari kekuasaan kerajaan oleh VOC dan dijadikan daerah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dengan status “GEWEST” atau “RESIDENTIE” (Karesidenan), dan sejak itu menjadi kota yang bersifat administrative. Sejak tahun 1830 hingga akhir Juli 1901 Kadipaten Bagelen masih berstatus sebagai Gewest atau residentie (karesidenan) dengan ibukota Purworejo.
Pada tahun 1928 daerah Jawa Tengah diangkat seorang Gubernur yang pertama yaitu P.J. Van Gulik dan daerah Jateng disebut Provincie Midden Java (Propinsi Jawa Tengah). Daerah-daerah yang dikuasainya yaitu daerah Karesidenan (Gewest) diubah menjadi lebih kecil, tetapi jumlah karesidenan diperbanyak. Daerah yang setingkat lebih kecil daripada Karesidenan (Residentie/Gewest) kemudian disebut Regenscap (Kabupaten). Kota Purworejo disamping berstatus sebagai ibukota Gewest Bagelen yang kemudian menjadi Afdeling Bagelen, juga merupakan afdeling lama yaitu Bestut Afdeling Purworejo diubah menjadi Kabupaten Purworejo.
Menurut latar belakang sejarah situasi politik pada masa itu, bahwa konsep kepemimpinan mempunyai latar belakang yang sama-sama mempunyai kepentingan legitimasi yaitu kepentingan kerajaan atau kepentingan kolonial. Hal ini menjadi pergeseran pada konsep pola tata kota yang dikembangkan kerajaan.. Pertimbangannya, jika penguasa di selatan arah hadapnya di selatan maka Bupati di pesisir utara menghadap ke utara.
Untuk kediaman penguasa kolonial diselatan menyesuaikan pola tata kota yang dibuat oleh penguasa tradisional, sedangkan pesisir utara penguasa tradisional menyesuaikan legitimasi penguasa kolonial.

Gedung Setda Kabupaten Purworejo dahulu di pakai sebagai rumah residen yang dibangun kurang lebih antara tahun 1893 – 1930 an. Rumah Residen ini terletak di sebelah selatan alun-alun sedangkan Pendopo Kabupaten terletak di sebelah utara alun-alun dan menghadap ke selatan.

Sumber : Bidang Kebudayaan Dinas Dikbudpora Kab. Purworejo
Foto : Koleksi Pribadi

19 September 2014

POSISI POLISI JAMAN HINDIA BELANDA INI SEBENARNYA DIMANA ?



Jika kita melihat foto-foto kuno dari Kabupaten Purworejo tercinta mungkin pernah memperhatikan foto ini. 
Polisi Hindia Belanda di Persimpangan Jalan, Purworejo
 Foto yang menggambarkan seorang polisi jaman Hindia Belanda yang sedang berdiri dengan dinaungi payung. Kuat kemungkinan bahwa foto ini diambil pada sekitar tahun 1930-an. Yang menarik disini adalah bahwa dimanakah posisi sang polisi ini berada, jika kita bayangkan pada saat ini. Baik, mari kita perhatikan beberapa hal dibawah ini. 
 1.  Gardu listrik dan Paseban
Kita lihat posisi gardu listrik yang berada di posisi pojok jalan/tikungan. Jika kita zoom ke sebelah belakang, terdapat paseban. Paseban, setahu penulis ada di alun-alun Purworejo.
























2.   Papan kayu penunjuk arah
Posisi di belakang polisi dan di depan warung. Jika dilihat lebih teliti akan terlihat tulisan “12 K KOETOARDJO”. Sementara pada papan lain tertulis “KEMIRI” dengan ada tambahan tulisan lain yang tidak terlalu nampak (kemungkinan berisi tulisan tentang jarak). 
  
 3.Jalan diantara dua pagar yang berbentuk seperti lingkaran
Jalan ini terlihat sebagai jalan aktif. Artinya, dipergunakan sehari-hari. Ini terlihat adanya seorang perempuan berkebaya yang sedang berjalan, ada sebuah gerobag dan di kejauhan terlihat mobil truk yang melintas.
  
Pada foto lainnya kita lihat dibawah ini.

Alun-alun Purworejo


Dalam foto yang diperkirakan tahun 1910 ini menunjukkan bahwa terdapat tulisan “Poerworedjo Aloon Aloon noord” jika diterjemahkan secara bebas kurang lebih berarti “alun-alun Purworejo sebelah utara”. Ini mengindikasikan kemungkinan besar foto diambil dari arah utara alun-alun Purworejo. Kita perhatikan, terdapat jalan yang seolah “membelah” alun-alun Purworejo dan melalui kedua pohon besar di tengah alun-alun.

Penulis juga mendapatkan informasi, jika dahulu alun-alun Purworejo (kita kadang menyebutkan dengan Alun-alun Besar Purworejo) terdapat jalan yang bermula dari ujung alun-alun sebelah utara (sekarang perempatan BRI/Kantor Pos) menuju perempatan sebelah Polres.

Jika melihat semua data diatas, maka :
1. Posisi gardu listrik dan paseban yang menurut kami identik dengan posisi yang ada saat ini.
2. Papan penunjuk arah ke Kutoarjo dan Kemiri, juga memiliki relevansi jika posisi ini berada di perempatan  depan BRI/Kantor Pos. Ditambah dengan tulisan 12 K, yang kemungkinan menunjukkan jarak Purworejo-Kutoarjo.
3. Terdapat dua pohon besar di tengah alun-alun, masih sama dengan saat ini.
4. Foto lain yang diambil dari sisi utara, menunjukkan bahwa pada sisi tersebut terlihat jalan yang melintasi dua pohon di tengah alun-alun. Dan di kejauhan terdapat gedung yang belum teridentifikasi.

Dengan demikian kesimpulan kami, posisi polisi Hindia Belanda tersebut besar kemungkinan berada di perempatan depan kantor pos / BRI sekarang.

Kesimpulan kami inipun masih menyisakan pertanyaan. Jika dilihat pada saat sekarang, maka “posisi” pohon (beringin?) yang berada di tengah alun-alun pada waktu lalu adalah serong/melintang karena jalan di alun-alun dari arah barat daya ke timur laut, maka pohon itu berdampingan di sebelah tenggara dan barat laut. Padahal pada lazimnya pemerintahan di Jawa, posisi pohon beringin yang berada di alun-alun adalah sejajar dengan rumah pimpinan wilayah setempat.
Jika kemungkinan dulu pohon tersebut tidak sejajar namun menyerong, kenapa demikian?

24 April 2014

BUNKER JEPANG ITU "TERSELIP" DI PURWOREJO

Bungker yang ada di sini menghadap ke Pantai Congot, mirip pertahanan Jepang di Gunung Suribachi dalam pertempuran Iwo Jima.
Antara tahun 1942-43, Jepang membangun bungker di perbukitan Kalimaro. Hingga kini, sisa-sisa peninggalan milter Jepang tersebut masih ada.
Terletak di Purworejo, Jawa Tengah, sekitar 40 kilometer sebelah barat kota Yogyakarta. Posisi bungker tepatnya di Desa Bapangsari,  Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo. Jalan menuju lokasi berliku mengitari kontur Bukit Kalimaro.

Kondisi jalan sudah diaspal sehingga memudahkan akses menuju situs. Persawahan yang subur menjadi pintu gerbang Bukit Kalimaro. Selanjutnya, perjalanan menuju situs ditemani pohon-pohon jati yang menjadi sumber penghasilan bagi sebagian penduduk.

Saat ini baru ditemukan sedikitnya lima bungker sisa peninggalan Jepang di wilayah perbukitan tersebut dari perkiraan 20-an bungker yang ada.
Semua bungker dan pillbox menghadap ke Pantai Congot, mirip pertahanan Jepang di Gunung Suribachi dalam pertempuran Iwo Jima.
Selain bungker pertahanan, juga ditemukan kolam penampungan air beserta saluran air dan semacam ruang pengendalian air. Semua bangunan didirkan dengan konstruksi beton bertulang.

Dari pillbox di Kalimaro, tentara Jepang bisa memantau pantai selatan Purworejo. Garis pantai terlihat jelas, sehingga memudahkan identifikasi pasukan artileri dari kemungkinan aktivitas penyusupan musuh dari garis pantai.


 *materi ditulis oleh  Mahandis Y. Thamrin dalam  website National Geographic Indonesia  (http://nationalgeographic.co.id)  edisi Rabu, 14 Agustus 2013 (dengan edit/perbaikan di nama lokasi)