13 Desember 2010

MAKAM GIRI CEMENTHOKO

Makam ini di berlokasi di Bukit Satria Desa Kaliwatubumi Kec. Butuh Kabupaten Purworejo. Tokoh-tokoh yang dimakamkan di sini adalah berkaitan dengan sejarah Kadipaten (Kabupaten) Kutoarjo. Bupati-bupati yang menjabat di Kadipaten Kutoarjo di antaranya yaitu :

1. Raden Tumengung Soerokoesoemo

2. Raden Tumenggung Pringgoatmojo sampai tahun 1870.

3. Pangeran Poerboatmodjo.

Nama asli Pangeran Poerboatmodjo adalah Raden Mas Toekijo, putra dari Mas Tumenggung Pringgoatmodjo (Raden Mas Sarimin). Kemudian Raden Mas Toekijo menjabat Mantri Pengairan Boro, karena jasanya diangkat :

a. Dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal di Bogor tanggal 19 Oktober 1870 menjadi Regent (Bupati) Kutoarjo.

b. Dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal di Bogor tanggal 30 Juli 1887 dianugerahi gelar Adipati hingga gelar dan nama selengkapnya adalah Raden Adipati Toekijo Poerboatmodjo.

c. Dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal di Bogor tanggal 1 Oktober 1910 dianugerahi gelar Pangeran hingga gelar dan nama selengkapnya adalah Pangeran Toekijo Poerboatmodjo.

4. Raden Tumenggung Poerbohadikoesoemo sampai tahun 1933.

Pada tahun 1933 Kabupaten Kutoarjo digabungkan menjadi satu dengan Kabupaten Purworejo dengan Bupati R.A.A. Hasan Danoeningrat dan selanjutnya Kutoarjo berstatus sebagai kawedanan.

Pada masa kepemimpinan R.T. Pringgoatmojo mempunyai penasehat spiritual yaitu Eyang Giri Cementhoko yang berasal dari keturunan Raja Mataram yang mengemban tugas agar bertapa di Gunung Satria, Desa Kaliwatubumi Kecamatan Butuh. Keduanya sepakat apabila meninggal dunia mereka akan dikebumikan secara berdampingan di Gunung Satria Desa Kaliwatubumi Kecamatan Butuh. R.T. Pringgoatmodjo lalu membeli tanah di Gunung Satria tersebut untuk tempat pemakaman beliau dan Eyang Giri Cementhoko beserta keluarga. Kemudian menyusul keluarga Bupati R.T. Pringgoatmodjo antara lain :

a. Pangeran Poerboatmodjo – Bupati Kutoarjo masa 1870 – 1915.

b. R. Adipati Aryo Poerbokoesoemo – Bupati Kutoarjo masa 1915 – 1933.

c. R. T. Poerboatmodjo Adi Surjo Bupati Kendal putra dari R.A.A. Poerbokoesoemo.

Makam Eyang Giri Cementhoko dibuat cungkup yang tertutup. Di sebelah timur terdapat makam R.T. Pringgoatmojo beserta istrinya, sedangkan di belakang (utara) makam R.T. Pringgoatmodjo terdapat Yoni berukuran 96 x 96 cm, dan tinggi 80 cm. Pada bagian tengahnya terdapat lubang persegi berukuran 28 x 28 cm sedangkan ceratnya patah.

Makam R. Adipati Aryo Poerbokoesoemo dan makam R.T. Poerboatmodjo Adi Surjo (Bupati Kendal) berada di sebelah selatan Makam Giri Cementhoko. Kondisi bangunan makam Bupati-bupati tersebut baik jirat maupun nisan sudah diganti bahan baru.

Pada tahun 2007 cungkup Makam Eyang Giri Cementhoko di pugar oleh Dinas Kebudayan dan Pariwisata Kabupaten Purworejo dengan anggaran APBD II Tahun 2007.

GEREJA KYAI SADRACH

Pada tahun 1841 di desa Dukuhseti wilayah Kabupaten Kediri Jawa Timur lahir seorang bayi yang diberi nama Radin. Anak tersebut hidup terlantar karena ketika ia masih kecil telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Sejak kecil ia hidup mengembara mengadu nasibnya dengan meminta-minta belas kasihan dari sesama umat yang dengan rela menaruh belas kasihan padanya. Betapapun penderitaan yang ia pikul, ia terima dengan keikhlasan hati karena berkeyakinan bahwa penderitaan semacam itu pastilah tidak akan menimpa dirinya untuk selama-lamanya.

Pada suatu saat, datanglah seorang Guru pengajar Agama Islam yang menaruh belas kasihan kepadanya untuk menolongnya dan dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Dan setiap hari diajarnya pengetahuan Agama Islam. Sebagai murid dalam ilmu Agama Islam ia tergolong anak yang paling pandai, dan oleh sang guru Radin diberi nama tambahan sehingga lengkapnya Radin Abbas. Melihat daya kemampuannya, maka Radin Abbas kemudian dipondokkan di Pondok Pesantren Jombang. Pada perjalanannya dari Demak ke Jombang ditempuhnya dengan perjalanan kaki saja. Karena daya tangkap dalam menerima pelajaran, dalam sebentar mendengar pelajaran dengan mudah memahami maksudnya.

Dalam mengikuti pelajaran di Pondok Pesantren Jombang itu, ia sering pergi ke Mojowarno untuk mengikuti pelajaran Agama Kristen yang diajarkan oleh DS. JELLESMA. Minatnya sangat tertarik dengan pelajaran Kristen melalui Injil. Radin Abbas berhati keras dan progresif. Ia menyatakan menjadi murid Ds. Jellesma untuk mendalami pengetahuan Agama Kristen. Oleh karena ia ingin mencari kebenaran Allah, dari Pondok Pesantren Jombang ia memasuki Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo. Tak lama kemudian Radin Abbas pindah ke Semarang dan berguru kepada seorang pendeta Kristen Ds. Hoczoo. Setiap hari Minggu ia rajin pergi ke gereja. Di Semarang ia berkenalan dengan seorang Kyai Kristen bernama Ibrahim Tunggul Wulung. Ia tertarik atas pelajarannya dan akhirnya menyatakan berguru kepada Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, dan terus menyatakan sebagai seorang yang telah memeluk agama Kristen.

Dalam tahun 1865 Radin Abbas berkenalan dengan Mr. Anthing seorang petugas pengadilan di Semarang. Oleh karena kariernya, Mr. Anthing diangkat sebagai Wakil Kejaksaan Tinggi di Batavia. Dan disamping tugasnya dalam dinas governmentnya, Mr. Anthing juga mendirikan pendidikan Calon Penyebar Agama Kristen. Pada suatu waktu Radin Abbas dan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung pergi ke Batavia. Oleh Mr. Anthing, Radin Abbas diterima sebagai anak buahnya dan ia menerima pembaptisan tanggal 14 April 1867 dengan nama baptisnya Sadrach. Sehingga nama lengkapnya menjadi Sadrach Radin Abbas, yang waktu itu berusia 26 tahun.

Dengan seijin Mr. Anthing, Sadrach Radin Abbas akan kembali ke Jawa Tengah. Perjalanannya akan ia tempuh dengan berjalan kaki saja : Batavia – Bandung – Cirebon – Tegal – Semarang – Bendo. Disetiap kota yang ia lalui, ia mengunjungi gereja-gereja Kristen yang ada. Setelah dapat bertemu dengan Kyai Tunggul Wulung, ia melanjutkan perjalanannya ke Jawa Timur : Surabaya – Mojowarno.

Mendengar kabar bahwa di Purworejo telah berdiri Pekabaran Injil yang dipimpin oleh Ny. Philips di Tuksongo; maka rombongan Sadrach pergi dan datang di Tuksongo Purworejo untuk menyaksikan tentang adanya berita yang didengar. Ternyata beritanya adalah benar dan nyata. Akhirnya Sadrach menetap di Purworejo dan membantu tugas Ny. Philips. Dimana atau di daerah mana banyak orang yang menentang Kristen, disitulah tugas Sadrach.

Cara Sadrach memperluas pengikutnya dengan cara ending sistim, door to door didatangi secara langsung berganti-ganti rumah. Mengadakan kebaktian secara bersama dilaksanakannya pada tahun 1871 (berdiri gereja) tempat kebaktiannya dipindahkan di Dukuh Karangjoso Desa Langenrejo Kecamatan Butuh Kabupaten Purworejo. Dan itulah didirikan rumah kebaktian di Karangjoso.

Sadrach dalam menyampaikan Pekabaran Injil secara khas Jawa dengan segala bentuk dan methodanya sendiri. Tugas Sadrach dibantu oleh Ny. Philips dalam menterjemahkan dari Bahasa Asing ke Bahasa Jawa.

Sadrach memperistri putri dari pemilik Rumah Peribadatan di Karangjoso. Karena dalam perkawinannya itu tidak dikaruniai keturunan, mereka mengangkat anak yang bernama Yothan putra dari Markus. Oleh karena usaha-usahanya dalam ikut Penyebaran Agama/Injil, maka nama Sadrach tercantum dalam Daftar Anggota Gereja Belanda. Oleh Sadrach para muridnya ditugaskan secara terpencar di seluruh Jawa Tengah untuk penyiaran Agama Kristen/Injil. Pada suatu ketika Sadrach bersama Ny. Philips mengadakan peninjauan ke pelosok, untuk melihat tentang penyebaran Injil yang biayanya dari Gereja Belanda. Akhirnya karena sakit Ny. Philips meninggal dunia 23 Mei 1876 dalam usia 51 tahun. Sejak itu Sadrach bertekad akan bekerja keras untuk melanjutkan akan kelangsungan Kristen Jawa. Ia menyebut dirinya Suropranoto yang berarti Berani Mengatur Sendiri. Dan ia menamakan Kristen Jawa Mardika.

Setiap hari Selasa Kliwon, di Karangjoso merupakan hari Pertemuan Besar. Pada waktu berjangkitnya wabah cacar, orang-orang disekitar gereja Karangjoso banyak yang tidak mencacarkan dirinya, karena tidak setuju adanya pencacaran dipaksakan. Akhirnya diketahuilah oleh Government dan Gereja Karangjoso ditutup dan rumah Sadrach digeledah karena diperkirakan bahwa ia akan memberontak terhadap Government tahun 1882.

Peristiwa yang disebut Jumat Wage adalah waktu peristiwa Sadrach diasingkan. Sedang sebagai Pemimpin Kebaktian dilakukan oleh Ds. Bieger dari Purworejo. Atas pengumuman Residen, Sadrach agar dikurung di rumah Ds. Bieger. Tanggal 10 Juni 1882 Sadrach terbebas dan kembali memimpin kebaktian di Gereja Kristen Jawa di Karangjoso. Tanggal 14 Nopember 1924 Sadrach meninggal dunia. Sepeninggal Sadrach para jamaah dipimpin oleh Yothan dan tentang kegerejaan diserahkan kepada Zending pada 1 Mei 1933. Para peserta yang setia kepada kerasulan menyingkir ke desa sebelah yaitu Desa Ketug, Kec. Butuh, Kab. Purworejo.

Barang-barang peninggalannya :

a. Rumah kediaman Sadrach

b. Gereja yang masih dipakai sekarang

c. Cucu Yothan sebagai Guru Injil

d. Keris, jubah, kursi dan tempat tidur

Data :

1. Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Purworejo.

2. Foto : Gereja (tahun 2008) Widiharto dan Eko Riyanto

08 Desember 2010

JAMASAN TOSAN AJI

Bertempat di halaman Museum Tosan Aji Purworejo, pada hari Selasa tanggal 7 Desember 2010 dilaksanakan kegiatan Prosesi Jamasan Tosan Aji. Penyelenggara kegiatan adalah kelompok pecinta tosan aji “Paseban Risang Aji” bekerja sama dengam Museum Tosan Aji Purworejo.

Kegiatan dihadiri oleh para pecinta tosan aji, guru MGMP Bahasa Jawa, siswa dan mahasiswa. Dalam sambutannya Drs. Bambang Aryawan, MM selaku Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menyambut hangat dilaksanakannya kegiatan tersebut, sebagai salah satu cara untuk melestarikan budaya adiluhung bangsa Indonesia.

Dalam prosesi ini dijamas keris Sabuk Inten luk 11 buatan abad XVI karya agung Mpu Supo dengan tangguh Mataram. Penjamas Tri Yuliana, SE, Kepala Museum Tosan Aji Purworejo.

Menjelang akhir kegiatan disampaikan seluk beluk penggunaan keris oleh Bapak Oteng Suherman.

30 November 2010

WAGE RUDOLF SOEPRATMAN LAHIR DI PURWOREJO

Semula WR Soepratman dikenal lahir di Meester Cornelis Jatinegara, Jakarta, ini berdasar keterangan Roekiyem Soepratiyah Van Eldik (kakak WR Soepratman) kepada Matumona (penulis awal biografi WR Soepratman) yang dituliskan oleh adik tirinya Oerip Soepardjo. Namun kemudian hal tersebut diralat sendiri oleh Oerip Soepardjo bahwa “keterangan lahir yang benar adalah di desa Somongari”.

Sementara itu, dokumen kelahiran Wage Rudolf Soepratman di Jatinegara tidak pernah ditemukan bahkan di Arsip Nasional.

Kesaksian warga Desa Somongari (Amatrejo Kasum dan Martowijoyo Tepok) pada sidang Pengadilan Negeri Purworejo tahun 1978 menyatakan bahwa hari lahir WR Soepratman adalah hari Kamis Wage “ngarepke” Jumat Kliwon.

Penelitian Dwi Raharja (akrab dipanggil Kak Har) terhadap hari pasaran bahwa Kamis Wage tahun 1903 bertepatan dengan tanggal 19 Maret 1903 (bukan 9 Maret).

Hal ini kemudian menjadi bahasan serta kesimpulan Seminar Tempat dan Tanggal Lahir yang dilaksanakan pada tanggal 18 Juli 2006 di Pendopo Kabupaten Purworejo.

Sidang Pengadilan Negeri Purworejo dengan keputusan No. 04/Pdt/P/2007/PN.Pwr. tgl 29 Maret 2007, menetapkan bahwa Wage Rudolf Soepratman lahir di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo pada tanggal 19 Maret 1903.

Sedangkan lokasi tempat lahirnya, telah di pugar pada tahun 2006 oleh Pemerintah Kabupaten Purworejo dan yang menarik, tempat pendaman ari-ari beliau masih ada.

26 November 2010

GEDUNG GPIB

Gedung Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) merupakan warisan dari Gedung Gereja Protestan Hindia Belanda yang lebih dikenal dengan INDISCHE KERK. Indische Kerk adalah “gereja Negara”, karena pada waktu tersebut segala sesuatu dalam gereja diatur oleh negara yang dalam hal ini adalah Pemerintah Hindia Belanda. Dan setelah Indonesia merdeka menjadi gereja yang mandiri.

Pada tahun 1948 GPI mengadakan sidang SINODE AM yang pertama dengan salah satu pokok bahasan tentang anggota jemaat yang tersebar dan tidak kembali ke daerahnya. Hasil keputusan untuk mengatasi masalah tersebut maka dibentuklah gereja baru pada tanggal 31 Oktober 1948 dengan nama Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) sebagai wadah dari jemaat-jemaat yang berada di luar jangkauan pelayanan GPI yaitu di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Selatan.

Dengan leburnya INDISCHE KERK dalam tubuh GPI, maka segala warisan termasuk gedung-gedung gereja milik Gereja Protestan di Indonesia termasuk di Purworejo yang sekarang bernama GPIB di Purworejo dibangun sekitar tahun 1879 – 1880 berdasarkan data yang terpampang pada ambang pintu tengah konsistori dengan tulisan teks Belanda yang berbunyi :

RECHT VAN EIGENDOM : VRIJ VAN VERP

I. MEET BRIEF 12 – 11 – 1887/ACTE 18-5-1880 No. 24

II. MEET BRIEF 12 – 12 - 1933 No. 109/ACTE 31 – 5 - 1935 No. 121 (yang dimungkinkan sebagai prasasti pendirian gereja tersebut).

Gedung gereja GPIB “Purworejo” merupakan salah satu peninggalan Belanda dengan bentuk bangunan yang antik, artistik, turut memperindah kota serta manjadi salah satu identitas Purworejo dengan letak yang strategis di sebelah timur alun-alun Purworejo.

Data :

1. Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
2. Foto : Koleksi Achmad Nangim, SIP (foto 1930) dan Widiharto (foto 2008)

16 November 2010

MASJID SANTREN BAGELEN















Masjid Santren Bagelen terletak di dusun Santren Desa Bagelen Kecamatan Bagelen Kabupaten Purworejo terletak di pinggir sebelah timur sungai Bogowonto. Masjid ini telah dipugar dikembalikan ke bentuk aslinya pada tahun 2001 oleh Pemerintah Kabupaten Purworejo dengan biaya APBD tahun 2001.

Sejarah :

Daerah Bagelen telah dihuni jauh sebelum masa Islam. Hal ini dibuktikan dari temuan artefak yang berupa stupa, lingga dan yoni. Pada masa Kerajaan Pajang, Bagelen telah mengakui Sultan Hadiwijaya sebagai rajanya dan kemungkinan pengaruh Islam telah masuk wilayah Bagelen. Daerah Bagelen pada waktu itu dipimpin oleh mantri Pamajegan yang pada saat-saat tertentu menyerahkan pajaknya kepada raja Pajang.

Ketika pusat pemerintahan Kerajaan Islam bergeser ke Mataram dibawah Panembahan Senopati, daerah Bagelen tampaknya mempunyai peranan khusus. Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaannya semasa pemerintahan Sultan Agung ( 1613-1645 ). Diceritakan pada masa tersebut Kyai Baidlowi sebagai tetua daerah Bagelen membantu Mataram dalam melawan Belanda. Sehingga untuk jasa tersebut, oleh istri Sultan Agung beliau dihadiahi masjid dengan arsitek Kasan Muhammad Shuufi.

Masjid Santren Bagelen adalah masjid yang dapat dikatagorikan sebagai cagar budaya. Hal ini disebabkan oleh latar belakang sejarah yang berkaitan dengan Raja Mataram yaitu Sultan Agung. Sekaligus masjid ini menjadi masjid tertua di wilayah Bagelen.

Tafsir sejarah yang menunjuk pada prasasti-prasasti yang ada menunjukkan bahwa masjid ini didirikan atas perintah istri Sultan Agung Raja Mataram yang terkenal. Sedangkan perintah istri Sultan Agung tersebut dimaksudkan untuk memberi hadiah atas jasa-jasa Kyai Baidlowi. Kaitan dengan Sultan Agung tersebut diperkuat dengan adanya angka tahun 1618 pada salah satu makam yang merupakan masa pemerintaan Sultan Agung. Angka tahun ini menjadikan Masjid Santren Bagelen sebagai masjid tertua di wilayah Bagelen.

Dengan adanya masjid di wilayah Bagelen menunjukkan bahwa sebaran agama Islam pada masa Sultan Agung antara lain telah mencapai daerah Bagelen. Selanjutnya daerah Bagelen pada masa Mataram merupakan daerah “Negoro Agung“ yang merupakan daearah di luar wilayah ibu kota. Sehingga Bagelen adalah pertahanan terakhir Mataram sebelum ibu kota.

Pandangan ini diperkuat dengan adanya sungai Bogowonto yang melewati Bagelen. Dengan demikian Bagelen memiliki nilai strategis militer bagi kerajaan Mataram.

Posisi Bagelen sebagai wilayah terluar kerajaan Mataram berlanjut sampai masa perang Diponegoro. Berdasarkan uraian di atas dapat diartikan bahwa secara umum Bagelen pada masa Mataram menduduki peran yang sangat strategis. Hadiah masjid oleh mataram mencerminkan bahwa kelestarian pertahanan Mataram tergantung dari hubungan baiknya dengan Bagelen.

Masjid Santren Bagelen merupakan masjid tertua di wilayah Bagelen yang berarsitektur tradisional Jawa dengan atap tajuk tumpang satu. Konstruksi kayu serta bentuk gonjo Masjid Santren sama dengan yang ada di Masjid Menara Kudus dan masjid Kajoran Klaten, sehingga kemungkinan ketiganya berasal dari masa yang sama. Di sisi utara dan selatan terdapat sederet makam yang diberi cungkup diantaranya terdapat makam-makam berprasasti.

Serambi masjid terdiri dari dua ruang dan merupakan bangunan baru. Dan pada ruang utama berbentuk bujur sangkar berukuran 10 x 10 m. lantai ruang utama berketinggian 60 Cm dengan tegel warna hijau berukuran 20 cm x 20 cm.

Ruang utama terdapat empat tiang soko guru berbentuk bulat berdiameter 40 cm dan diantara deretan tembok pada ruang utama terdapat 12 buah soko rowo. Pada salah satu soko rowo disebelah utara mihrab terdapat prasasti berhuruf dan berbahasa Arab yang artinya : “ Masjid ini dibangun dinegeri yang agung untuk leluhur yang sudah meninggal atas perintah istri Sultan Mataram diberikan kepada ustadz Baidlowi dan sebenarnya yang membuat masjid ini Khasan Muhammad Shuufi semoga dia mendapat ridha Allah yang berupa nikmat dunia dan akhirat dan ditetapkan imannya.”

Ruang mihrab terdapat pada dinding sisi barat berupa relung berukuran 1,40 m x 1,80 m.

Alat-alat perlengkapan masjid diantaranya :

1. Mimbar disisi barat ruang utama berukuran 155 cm, lebar 80 cm dan tinggi 225 cm.

2. Bedug dan kentongan di ruang emperan sisi selatan.

3. Bedug berukuran panjang 125 cm dengan diameter 67 cm. Kentongan berukuran panjang 9 cm dengan diameter 18 cm.

Bangunan lain berupa makam di sebelah utara, barat dan selatan bangunan masjid. Kelompok makam bercungkup di sebelah utara masjid dua diantaranya terdapat prasasti pada batu nisannya yakni pada makam R.K.H. Chasan Moekibad adalah merupakan anak syeik ustadz Baidlowi terdapat prasasti berhuruf dan berbahasa Arab artinya : “ Bagi kamu dan bagimu telah diampuni oleh Allah dalam tahun 1028” pada nisan kaki (selatan) terdapat tulisan arab yang artinya : “Haji Ahmad Baidlowi“.

Tahun 1028 H pada nisan tersebut dijadikan angka tahun masehi sama dengan tahun 1618 M. Sedangkan nisan kepala (utara) Makam R.A. Chasan Moekibat terdapat tulisan Arab artinya :

“ Bagi kami dan bagimu telah diampuni oleh Allah 1771 ” apabila angka tahun ini dijadikan angka tahun masehi sama dengan 1757 M.

Pemugaran Masjid Santren Bagelen ini sebagai contoh salah satu kegiatan pemugaran yang telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Purworejo pada tahun 2001 telah mengacu pada Undang-Undang No. 5 tahun 1992 dan PP. Nomor 10 taun 1993.

Jika Anda ingin mendapatkan VCD dokumentasi masjid ini silahkan kunjungi/klik disini.


Data :

1. Eko Riyanto, Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

2. Foto – foto : Agung Pranoto

15 November 2010

SITUS BATU GAJAH

Situs Batu Gajah merupakan kelompok menhir dengan jumlah 5 buah yang merupakan delta pertemuan antara sungai Kodil dengan sungai Bogowonto. Benda cagar budaya ini terletak di Desa Mudalrejo Kec. Loano .

Menhir 1 dan 2 mengarah ke selatan dimana pada radius 200 meter diarah ini mengalir Sungai Kodil. Sementara 150 meter dari kelompok menhir ini, mengalir Sungai Bogowonto. Kelompok menhir ini khususnya menhir 1, 2, 3 dan 4 jika dihubungkan akan membentuk bidang persegi panjang dengan menhir 5 terletak di bagian tengah. Bidang ini memiliki orientasi Barat Timur, mengarah ke Sungai Bogowonto.

Menilik dari keletakan dan arah menhir dan susunan menhir serta orientasi menhir, dapat diduga bahwa kelompok menhir ini berfungsi sebagai sarana pemujaan arwah nenek moyang. Pusat pemujaan dititik beratkan pada menhir 5 yang berada di bagian tengah yang dikelilingi oleh empat menhir lainnya. Hal ini didukung oleh keberadaan 2 buah sungai yang mengalir di bagian selatan (Sungai Kodil) dan dibagian barat (Sungai Bogowonto). Sementara fungsi yang mengarah pada pertanda adanya penguburan atau pertanda batas antara daerah sakral dengan daerah profan kiranya kurang mendukung. Temuan megalit yang mengarah pada upacara penguburan, seperti batu dakon atau lumpang batu tidak dijumpai disekitar situs.

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Dr. Haris Sukendar yang menyatakan bahwa menhir-menhir yang diletakkan ditempat yang strategis umumnya lebih sesuai untuk pemujaan (Sukendar, 1983). Sejalan dengan pendapat ini, R.P. Soejono mengemukakan bahwa pendirian bangunan-bangunan megalit selalu berdasarkan kepercayaan akan adanya hubungan antara yang masih hidup dengan yang mati, terutama kepercayaan akan pengaruh kuat arwah nenek moyang terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman (Soejono, 1984 : 194).

Dioleh dari sumber :
1. Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
2. Foto : Widiharto, Eko Riyanto


LEGENDA NYAI BAGELEN

Menurut ceritera rakyat nama Bagelen itu sudah ada sejak jaman dahulu, yaitu negeri Medangkamulan atau Medang Gele atau Pagelen yang memerintah negeri itu ialah Sri Prabu Kandiawan yang berputera lima orang yang masing-masing memerintah Negara Bagian.

Putra sulung bernama Sri Panuwun, ahli dalam pengairan, pertanian dan pemerintahan dan memerintah Negara bagian Medang Gele, yang akhirnya bernama Pagelen.

Putra yang kedua bernama Si Sendang Garbo, ahli perdagangan dan memerintah didaerah Jepara. Putra yang ketiga berkedudukan di Prambanan bernama Karungkala. Yang keempat bernama Sri Petung Laras atau tunggul Ametung memerintah di Kediri. Dan yang bungsu bernama Sri Djetayu, memerintah di Kahuripan. Kerajaan Medangkamulan adalah negeri yang aman, tentram dan makmur. Karena rajanya berlaku adil dan jujur. Sri Prabu Kadiawan meninggal dalam tahun yang ditandai dengan suryasengkala “RUPA TRI MUKSENG LEBU“ yang berarti kurang lebih 1031 yang kemudian yang menggantikan ialah putranya yang sulung, Sri Panuwun.

Prabu Panuwun mempunyai dua orang anak, tetapi semuanya cacat. Maka sang Prabu bersedih yang selanjutnya bersemedi untuk mohon petunjuk Dewata. Akhirnya diperoleh suatu petunjuk gaib, bahwa ia harus pergi kesuatu sendang di Somolangu. Di daerah tersebut Sang Prabu Panuwun memperistri anak perempuan Kyai Somolangu. Dari perkawinannya itu kemudian dianugrahi seorang anak perempuan yang diberi nama “Raden Rara Wetan” Yang kelak terkenal dengan nama “ NYAI BAGELEN “ dan menjadi pewaris daerah Bagelen.

Setelah dewasa Rara Wetan menjadi isteri Pangeran Awu Awu Langit yang berkedudukan di daerah Ngombol.

Karena Sri Panuwun berpindah kedudukan di Hargopura (Hargorojo), maka Pangeran Awu Awu Langit menggantikan kedudukannya di Bagelen .

Pengairan di daerah tersebut maju sehingga pertanian-pun maju dengan pesat. Hasil pertanian yang utama ialah padi ketan wulung dan kedele. Dan Nyai Bagelen bersama suaminya disamping sebagai petani maju juga beraktifitas sebagai penenun.

Perkawinannya dengan Pangeran Awu Awu Langit Nyai Bagelen dikaruniai tiga orang anak. Yang sulung bernama Raden Bagus Gento, dan yang kedua dan ketiga masing-masing perempuan yang bernama Raden Rara Taker dan Raden Rara Pitrah.

Pada suatu hari Selasa Wage, ketika Nyai Bagelen sedang menenun dan anak-anaknya asyik bermain-main tidak jauh dari ia bekerja , tiba-tiba Nyi Bagelen alangkah terkejut karena bukan putranya yang sedang menyusu, melainkan seekor anak lembu. Kemudian dicarilah kedua anak perempuannya dan ditanyakan kepada suaminya yang sedang asyik memilihi bibit ketan wulung. Karena jawaban dari suaminya kurang mengenakkan, maka dengan alat tenunnya didorongnya lumbung padi dan kedele sehingga isinya berhamburan. Lumbung padi itu terlempar jauh dan tersangkut di pohon beringin di desa Krendetan dan yang sebuah lagi jatuh di desa Penatak (Somorejo).

Padi dan kedele berhamburan jatuh di desa Ketesan dan Wingko-tinumpuk. Namun bukan main terkejutnya Nyai Bagelen ketika dilihat kedua anak perempuannya terbaring pada bekas lumbung dalam keadaan telah meninggal.

Terjadilah pertengkaran antar suami istri. Dan suaminya Pangeran Awu Awu langit memutuskan pulang ke daerah asalnya dan kemudian meninggal di desa Awu-Awu. Ketika mendengar berita suaminya meninggal, maka Nyai Bagelen berpesan kepada anaknya sulung Raden Bagus Gento; semua anak cucu serta keturunanku dilarang atau berpantang untuk berpergian atau jual beli , mengadakan hajad pada hari pasaran Wage, karena hari pasaran itu saat jatuhnya bencana dan merupakan hari yang naas. Kecuali itu juga bagi orang-orang asli Bagelen berpantang untuk menanam kedele, memelihara lembu, memakai pakaian yang menyerupai pakaian yang dipakai Nyai Bagelen waktu datang bulan yaitu : kain lurik, kebaya gadung melati dan kemben bangau tulis.

Setelah menyampaikan pesan itu , Nyai Bagelen masuk ke kamarnya dan kemudian menghilang, tanpa meninggalkan bekas atau murca

Dan selanjutnya Raden Bagus Gento menggantikan kedudukannya memerintah daerah Bagelen.

Raden bagus Gento mempunyai anak yang bernama Kyai Rodjo Pandito, yang setelah meninggal dimakamkan di desa Margorejo. Kyai Rodjo Pandito mempunyai putra yang bernama Dewi Rengganis dan makamnya di desa Semono.

Komplek petilasan Nyai Bagelen terdapat sejumlah makam kuno dan peninggalan sejarah Buddha yang berupa stupa-stupa berjumlah sembilan buah dengan masing-masing ukuran stupa yang berbeda dan dinyatakan sebagai peninggalan sejarah purbakala yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Jika Anda ingin memiliki buku tentang legenda Nyi Bagelen ini silahkan klik disini.

Diolah dari sumber :
1. Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
2. Foto : Widiharto, Eko Riyanto

27 Oktober 2010

MUSEUM TOSAN AJI (updated)


Pada tanggal 13 April 1987 Museum Tosan Aji Purworejo diresmikan oleh Gubernur KDH Tingkat I Jawa Tengah Bapak Ismail. Sedangkan prakarsa pendirian oleh Menteri Dalam Negeri, Soepardjo Roestam.

Semula museum berada di Kutoarjo dan dipindah ke Purworejo pada tanggal 10 Juni 2001. Saat ini menempati bangunan bekas Pengadilan pada masa Belanda. Pada tahun 2017.museum kembali berpindah di area sekitar Pendopo Kabupaten Purworejo. Di Museum ini tidak hanya menyimpan benda-benda koleksi tosan aji seperti keris, pedang, cundrik, tombak dan lain-lain. Namun pada perkembangannya banyaknya benda cagar budaya lainnya seperti patung, prasasti, yoni, lingga, lumpang, batu pipisan, guci, batu gong, menhir dan lain-lain.
Koleksi tosan aji yang disimpan terdapat yang berasal dari masa kerajaan pajajaran dan majapahit. Sementara benda cagar budaya berasal dari masa pra sejarah maupun masa klasik.
Di museum juga terdapat gamelam kuno kyai Cokronagoro yang merupakan hadiah dari Sri Susuhunan Pakubuwono VI kepada Bupati Purworejo I, Cokronagoro I.
Alamat :
Jl. Setia Budi No. 2 (Kompleks Pendopo) Purworejo
Telp. 0275-321033
Jam Buka :
Senin-Kamis : 08.00 – 16.00 WIB
Jumat : 08.00 – 14.30 WIB
Sabtu - Minggu : 08.00 – 16.00 WIB

22 Oktober 2010

KLENTENG THONG HWIE KIONG

Seperti halnya klenteng-klenteng lain di Indonesia, klenteng ini dibangun oleh pedagang Cina yang akhirnya bermukim di Indonesia.

Bangunan ini berada di Jalan Singodranan No. 15, menghadap ke barat dan tepat berhadapan dengan pasar Baledono pada sisi belakang. Arsitektur bangunan berciri arsitektur Cina dengan warna dominan merah sebagai simbol penolak balak terhadap kekuatan roh jahat. Bangunan terdiri dari tempat pemujaan dan asrama pengelola. Halaman depan bagian kanan terdapat prasasti dengan huruf Cina kuno yang isi prasasti belum diterjemahkan dan berangka tahun 1888 M.

Diolah dari sumber :

1. Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Purworejo

2. Foto koleksi Achmad Nangim, SIP

MASJID AGUNG KADIPATEN PURWOREJO (SEKARANG BERNAMA MASJID DARUL MUTTAQIEN)


Masjid Agung Darul Muttaqien dibangun dengan berarsitektur Jawa bentuk Tanjung Lawakan Lambang teplok, mirip Masjid Agung Kraton Solo. Tahun 1833 KRAA Cokronagoro I memerintahkan untuk membuat Masjid Agung, di mana bahan-bahan untuk membuat tiang utama Masjid ini berasal dari kayu jati bang yang mempunyai cabang lima buah dengan umur ratusan tahun dan diameter lebih dari 200 cm tingginya mencapai puluhan meter.

Masjid Agung Kadipaten Purworejo ini dibuat pada hari Ahad tanggal 2 bulan Besar Tahun Alip 1762 Jawa bertepatan dengan tanggal 16 April 1834 M, seperti tercantum pada prasasti yang terpasang di atas pintu utama masjid agung ini. Kemudian dinamakan dengan nama Masjid Agung Darul Muttaqien Purworejo. Masjid Agung Kadipaten Purworejo ini dibangun di sebelah barat alun-alun Kota Purworejo.

Jika Anda ingin mendapatkan buku yang mengupas tentang masjid ini silahkan klik disini.


Diolah dari sumber :

1. Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Purworejo

2. Foto atas (tahun 1931) koleksi Achmad Nangim, SIP

BEDUG PENDOWO

Untuk kelengkapan Masjid Agung Kadipaten Purworejo (Sekarang bernama Masjid Darul Muttaqien), KRAA Cokronagoro I memerintahkan kepada Raden Patih Cokrojoyo untuk segera membuat bedug yang berasal dari kayu jati yang diambil dari hutan Pendowo/Bragolan. Raden Patih Cokrojoyo memanggil Wedono Bragolan yaitu Raden Tumenggung Prawironegoro yang juga adalah adik dari KRAA Cokronagoro I sendiri, untuk bersama-sama melaksanakan perintah tersebut. Akhirnya disepakati untuk membuat bedug besar/agung dengan menggunakan bahan dari pangkal (bongkot) kayu jati bang yang bercabang lima (dalam ilmu bangunan Jawa/Serat Kaweruh Kalang disebut pohon jati pendowo), daerah dimana terdapat pohon jati pendowo ini disebut sebagai dusun Pendowo Desa Bragolan Kecamatan Purwodadi.

Setelah mendapat restu dari Kanjeng Raden Adipati Arya Cokronagoro I, maka dimulailah pembuatan Bedug Agung tersebut yang memakan waktu cukup lama sebab peralatan pada saat itu belumlah seperti sekarang ini. Disamping itu saat akan mengerjakan dan pada waktu pengerjaannya, senantiasa didukung dari para ulama dan para pekerjanya untuk memohon kehadirat Allah Swt agar selalu mendapatkan petunjuk serta kekuatan-Nya.

Akhirnya bedug besar/agung yang direncanakan dan dibuat dengan penuh kesungguhan dari bahan pangkal (bongkot) kayu jati bong yang langka bentuk dan ukuran yang luar biasa besarnya telah dapat diwujudkan. Adapun jumlah paku yang digunakan adalah paku keling dari kayu jati untuk memaku kulit bagian depan 120 buah dan kulit bagian belakang 98 buah. Spesifikasi lain yaitu garis tengah depan 194 cm, garis tengah belakang 180 cm. Keliling bagian depan 601 cm, keliling bagian belakang 564 cm. Dibuat sekitar tahun 1762 Jawa atau 1834 Masehi.

Sedangkan kulit bedug dibuat dari :

1. Kulit banteng ukuran garis tengah 220 cm.

2. Bagian belakang pada tahun 1936 rusak dan diganti dengan kulit sapi Benggala (Ongak).

3. Sampai saat ini tahun 2005 telah dilakukan penggantian kulit bedug bagian belakang tiga kali dan terakhir tahun 1996.

Kulit bagian depan masih utuh tetap kulit asli sejak dibuatnya yaitu dari kulit banteng.

Jika Anda inin mendapatkan buku yang secara detil mengupas tentang Bedug Pendowo ini slikahkan klik disini.


Diolah dari sumber :

1. Bidang Kebudayaaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Purworejo

2. Buku Wisata Ziarah Purworejo, terbitan Pemerintah Kabupaten Purworejo, 2006
3. Foto : Drs. Eko Riyanto, Widiharto

BANGUNAN SMA NEGERI 7 PURWOREJO

Berawal dari sekolah pendidikan guru zaman Belanda HKS (Hollands Kweek School) tahun 1915 – 1928. Komplek bangunan ini telah didirikan dengan megah disebuah area yang luasnya 4,6 hektar dengan dilengkapi fasilitas rumah dinas sebagai asrama murid dan guru. Dengan melihat tata ruang yang ada nampaknya gedung ini memang dirancang sedemikian rupa bentuk bangunannya sehingga cukup kondusif untuk tempat belajar selama kurun waktu yang lama.

Dalam perkembangannya HKS kemudian menjadi Sekolah Pendidikan Umum MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) tahun 1928 – 1942. Menjelang kemerdekaan RI sekolah ini berganti menjadi SMP Negeri zaman Belanda tahun 1942 – 1945 dan SMP Negeri zaman Jepang tahun 1945 - 1949. Pada tahun 1950 – 1961 Sekolah Guru (SGB) dan SGA tahun 1958 – 1968, kemudian beralih menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tahun 1968 – 1991 dan juga SPG sore tahun 1968 – 1974.

Pada awal perkembangannya SPG bagian dari komplek sekolah ini juga digunakan untuk Kursus Pendidikan Guru (KPG) tahun 1977 – 1988 serta Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama Negeri (PGSLTP) yang dilaksanakan pada sore dan malam hari dari tahun 1967 – 1973.

Seiring dengan keputusan pemerintah meniadakan beberapa sekolah keguruan termasuk SPG maka pada tahun 1991 sekolah ini beralih fungsi menjadi SMA Negeri 3 Purworejo. Selanjutnya tanggal 7 Maret 1997 SMA Negeri 3 Purworejo berubah menjadi SMU Negeri 2 Purworejo dan pada tahun 2004 berubah lagi menjadi SMA Negeri 7 Purworejo.

Sumber : Bidang Kebudayaan Dinas P dan K Kab. Purworejo

Foto : Koleksi H. Achmad Nangim, SIP

19 Oktober 2010

FESTIVAL KESENIAN RAKYAT TAHUN 2010








Hari Jadi ke-1109 Kabupaten Purworejo lebih semarak dengan dilaksanakannya Festival Kesenian Rakyat yang dilaksanakan pada tanggal 16 Oktober 2010. Dilaksanakan di Taman Bermain Anak (TBA) dimulai pada pukul 15.00 WIB dibuka oleh Bupati Purworejo yang diwakili oleh Drs. Bambang Aryawan, MM, (Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan).

Kegiatan berlangsung hingga pukul 23.00 WIB dengan menampilkan 16 grup dari masing-masing kecamatan.
Pada akhir kegiatan diumumkan grup kesenian dengan penampil terbaik yaitu :
1. Penampil terbaik 1 Kuda Kepang Trisno Budoyo dari Desa Kalirejo Kec. Bagelen.
2. Penampil terbaik 2 Dolalak Mudo Laras dari Desa Hulosobo Kec. Kaligesing.
3. Penampil terbaik 3 Dolalak Putri Pertiwi dari Desa Sumberrejo Kec. Purwodadi.
4. Penampil terbaik 4 Dolalak Sri Kaloka dari Desa Brenggong Kec. Purworejo.
5. Penampil terbaik 5 Kuda Kepang Wahyu Turonggo dari Desa Sruwoh Kec. Ngombol.
Untuk kelima grup diatas disampaikan piala dan uang pembinaan.

17 Oktober 2010

KARNAVAL BUDAYA, 16 OKTOBER 2010






Diikuti oleh UPT Pendidikan dan Kebudayaan, SD, SMP, MTs, SMK, SMA, MA dll. Dilaksanakan pada hari Sabtu 16 Oktober 2010 mulai pukul 08.00 – 14.00 WIB. Rute Alun-alun – Patung Pahlawan – Jalan Sibak – BTC – Pasar Suronegaran – Alun-alun.

GELAR SENI DAN BUDAYA DAERAH










Bertempat di Taman Bermain Anak (TBA) Purworejo pada tanggal 7-9 Oktober 2010 dilaksanakan Gelar Seni Budaya Daerah. Kegiatan ini diadakan dalam rangka Parade Budaya Lokal untuk memeriahkan Peringatan Hari Jadi ke-1109 Kabupaten Purworejo. Kegiatan ini dimulai pukul 20.00 WIB dan berakhir 23.00 WIB dengan menyajikan penampilan 3 (tiga) kesenian yaitu :

Hari I : Dolalak “Lestari Budaya” - Desa Kaligono Kec. Kaligesing

Hari II : Kuda Kepang “Trisno Budoyo” - Desa Kalirejo Kec. Bagelen

Hari III : Kuda Kepang “Turonggo Mudo” Desa Prigelan Kec. Pituruh

Antusiasme penonton dalam memberikan apresiasi sangat membanggakan, bahkan ketika pementasan Kuda Kepang Trisno Budoyo / malam kedua, hujan turun dengan deras, namun mereka tidak beranjak dan tetap menonton di gazebo yang ada dalam lingkungan TBA. Ketika hujan reda, mereka maju kembali mendekati panggung. Tak kalah ramainya, pada malam terakhir, yaitu malam minggu yang menampilkan Turonggo Mudo. Sehubungan dengan akhir pekan, penonton luar biasa apresiasinya.

Yang patut mendapat acungan jempol, selama kegiatan berlangsung, keadaan penonton selalu tertib. Ini membuktikan bahwa kesenian dapat dinikmati oleh semua kalangan. Untuk masa yang akan datang mestinya Pemerintah Kabupaten Purworejo memberikan wahana apresiasi semacam ini dengan memberikan porsi lebih, agar kesenian lokal dapat bertahan dan berkembang di tengah gempuran seni budaya dari luar negeri. Diharapkan nantinya akan membuat lebih banyak kawula muda dan para warga purworejo umumnya untuk lebih mencintai seni budaya daerah.

Sehingga pengembangan dan nguri-uri seni budaya lokal bukan hanya terhenti sebatas kata-kata. Semoga.