30 November 2010

WAGE RUDOLF SOEPRATMAN LAHIR DI PURWOREJO

Semula WR Soepratman dikenal lahir di Meester Cornelis Jatinegara, Jakarta, ini berdasar keterangan Roekiyem Soepratiyah Van Eldik (kakak WR Soepratman) kepada Matumona (penulis awal biografi WR Soepratman) yang dituliskan oleh adik tirinya Oerip Soepardjo. Namun kemudian hal tersebut diralat sendiri oleh Oerip Soepardjo bahwa “keterangan lahir yang benar adalah di desa Somongari”.

Sementara itu, dokumen kelahiran Wage Rudolf Soepratman di Jatinegara tidak pernah ditemukan bahkan di Arsip Nasional.

Kesaksian warga Desa Somongari (Amatrejo Kasum dan Martowijoyo Tepok) pada sidang Pengadilan Negeri Purworejo tahun 1978 menyatakan bahwa hari lahir WR Soepratman adalah hari Kamis Wage “ngarepke” Jumat Kliwon.

Penelitian Dwi Raharja (akrab dipanggil Kak Har) terhadap hari pasaran bahwa Kamis Wage tahun 1903 bertepatan dengan tanggal 19 Maret 1903 (bukan 9 Maret).

Hal ini kemudian menjadi bahasan serta kesimpulan Seminar Tempat dan Tanggal Lahir yang dilaksanakan pada tanggal 18 Juli 2006 di Pendopo Kabupaten Purworejo.

Sidang Pengadilan Negeri Purworejo dengan keputusan No. 04/Pdt/P/2007/PN.Pwr. tgl 29 Maret 2007, menetapkan bahwa Wage Rudolf Soepratman lahir di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo pada tanggal 19 Maret 1903.

Sedangkan lokasi tempat lahirnya, telah di pugar pada tahun 2006 oleh Pemerintah Kabupaten Purworejo dan yang menarik, tempat pendaman ari-ari beliau masih ada.

26 November 2010

GEDUNG GPIB

Gedung Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) merupakan warisan dari Gedung Gereja Protestan Hindia Belanda yang lebih dikenal dengan INDISCHE KERK. Indische Kerk adalah “gereja Negara”, karena pada waktu tersebut segala sesuatu dalam gereja diatur oleh negara yang dalam hal ini adalah Pemerintah Hindia Belanda. Dan setelah Indonesia merdeka menjadi gereja yang mandiri.

Pada tahun 1948 GPI mengadakan sidang SINODE AM yang pertama dengan salah satu pokok bahasan tentang anggota jemaat yang tersebar dan tidak kembali ke daerahnya. Hasil keputusan untuk mengatasi masalah tersebut maka dibentuklah gereja baru pada tanggal 31 Oktober 1948 dengan nama Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) sebagai wadah dari jemaat-jemaat yang berada di luar jangkauan pelayanan GPI yaitu di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Selatan.

Dengan leburnya INDISCHE KERK dalam tubuh GPI, maka segala warisan termasuk gedung-gedung gereja milik Gereja Protestan di Indonesia termasuk di Purworejo yang sekarang bernama GPIB di Purworejo dibangun sekitar tahun 1879 – 1880 berdasarkan data yang terpampang pada ambang pintu tengah konsistori dengan tulisan teks Belanda yang berbunyi :

RECHT VAN EIGENDOM : VRIJ VAN VERP

I. MEET BRIEF 12 – 11 – 1887/ACTE 18-5-1880 No. 24

II. MEET BRIEF 12 – 12 - 1933 No. 109/ACTE 31 – 5 - 1935 No. 121 (yang dimungkinkan sebagai prasasti pendirian gereja tersebut).

Gedung gereja GPIB “Purworejo” merupakan salah satu peninggalan Belanda dengan bentuk bangunan yang antik, artistik, turut memperindah kota serta manjadi salah satu identitas Purworejo dengan letak yang strategis di sebelah timur alun-alun Purworejo.

Data :

1. Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
2. Foto : Koleksi Achmad Nangim, SIP (foto 1930) dan Widiharto (foto 2008)

16 November 2010

MASJID SANTREN BAGELEN















Masjid Santren Bagelen terletak di dusun Santren Desa Bagelen Kecamatan Bagelen Kabupaten Purworejo terletak di pinggir sebelah timur sungai Bogowonto. Masjid ini telah dipugar dikembalikan ke bentuk aslinya pada tahun 2001 oleh Pemerintah Kabupaten Purworejo dengan biaya APBD tahun 2001.

Sejarah :

Daerah Bagelen telah dihuni jauh sebelum masa Islam. Hal ini dibuktikan dari temuan artefak yang berupa stupa, lingga dan yoni. Pada masa Kerajaan Pajang, Bagelen telah mengakui Sultan Hadiwijaya sebagai rajanya dan kemungkinan pengaruh Islam telah masuk wilayah Bagelen. Daerah Bagelen pada waktu itu dipimpin oleh mantri Pamajegan yang pada saat-saat tertentu menyerahkan pajaknya kepada raja Pajang.

Ketika pusat pemerintahan Kerajaan Islam bergeser ke Mataram dibawah Panembahan Senopati, daerah Bagelen tampaknya mempunyai peranan khusus. Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaannya semasa pemerintahan Sultan Agung ( 1613-1645 ). Diceritakan pada masa tersebut Kyai Baidlowi sebagai tetua daerah Bagelen membantu Mataram dalam melawan Belanda. Sehingga untuk jasa tersebut, oleh istri Sultan Agung beliau dihadiahi masjid dengan arsitek Kasan Muhammad Shuufi.

Masjid Santren Bagelen adalah masjid yang dapat dikatagorikan sebagai cagar budaya. Hal ini disebabkan oleh latar belakang sejarah yang berkaitan dengan Raja Mataram yaitu Sultan Agung. Sekaligus masjid ini menjadi masjid tertua di wilayah Bagelen.

Tafsir sejarah yang menunjuk pada prasasti-prasasti yang ada menunjukkan bahwa masjid ini didirikan atas perintah istri Sultan Agung Raja Mataram yang terkenal. Sedangkan perintah istri Sultan Agung tersebut dimaksudkan untuk memberi hadiah atas jasa-jasa Kyai Baidlowi. Kaitan dengan Sultan Agung tersebut diperkuat dengan adanya angka tahun 1618 pada salah satu makam yang merupakan masa pemerintaan Sultan Agung. Angka tahun ini menjadikan Masjid Santren Bagelen sebagai masjid tertua di wilayah Bagelen.

Dengan adanya masjid di wilayah Bagelen menunjukkan bahwa sebaran agama Islam pada masa Sultan Agung antara lain telah mencapai daerah Bagelen. Selanjutnya daerah Bagelen pada masa Mataram merupakan daerah “Negoro Agung“ yang merupakan daearah di luar wilayah ibu kota. Sehingga Bagelen adalah pertahanan terakhir Mataram sebelum ibu kota.

Pandangan ini diperkuat dengan adanya sungai Bogowonto yang melewati Bagelen. Dengan demikian Bagelen memiliki nilai strategis militer bagi kerajaan Mataram.

Posisi Bagelen sebagai wilayah terluar kerajaan Mataram berlanjut sampai masa perang Diponegoro. Berdasarkan uraian di atas dapat diartikan bahwa secara umum Bagelen pada masa Mataram menduduki peran yang sangat strategis. Hadiah masjid oleh mataram mencerminkan bahwa kelestarian pertahanan Mataram tergantung dari hubungan baiknya dengan Bagelen.

Masjid Santren Bagelen merupakan masjid tertua di wilayah Bagelen yang berarsitektur tradisional Jawa dengan atap tajuk tumpang satu. Konstruksi kayu serta bentuk gonjo Masjid Santren sama dengan yang ada di Masjid Menara Kudus dan masjid Kajoran Klaten, sehingga kemungkinan ketiganya berasal dari masa yang sama. Di sisi utara dan selatan terdapat sederet makam yang diberi cungkup diantaranya terdapat makam-makam berprasasti.

Serambi masjid terdiri dari dua ruang dan merupakan bangunan baru. Dan pada ruang utama berbentuk bujur sangkar berukuran 10 x 10 m. lantai ruang utama berketinggian 60 Cm dengan tegel warna hijau berukuran 20 cm x 20 cm.

Ruang utama terdapat empat tiang soko guru berbentuk bulat berdiameter 40 cm dan diantara deretan tembok pada ruang utama terdapat 12 buah soko rowo. Pada salah satu soko rowo disebelah utara mihrab terdapat prasasti berhuruf dan berbahasa Arab yang artinya : “ Masjid ini dibangun dinegeri yang agung untuk leluhur yang sudah meninggal atas perintah istri Sultan Mataram diberikan kepada ustadz Baidlowi dan sebenarnya yang membuat masjid ini Khasan Muhammad Shuufi semoga dia mendapat ridha Allah yang berupa nikmat dunia dan akhirat dan ditetapkan imannya.”

Ruang mihrab terdapat pada dinding sisi barat berupa relung berukuran 1,40 m x 1,80 m.

Alat-alat perlengkapan masjid diantaranya :

1. Mimbar disisi barat ruang utama berukuran 155 cm, lebar 80 cm dan tinggi 225 cm.

2. Bedug dan kentongan di ruang emperan sisi selatan.

3. Bedug berukuran panjang 125 cm dengan diameter 67 cm. Kentongan berukuran panjang 9 cm dengan diameter 18 cm.

Bangunan lain berupa makam di sebelah utara, barat dan selatan bangunan masjid. Kelompok makam bercungkup di sebelah utara masjid dua diantaranya terdapat prasasti pada batu nisannya yakni pada makam R.K.H. Chasan Moekibad adalah merupakan anak syeik ustadz Baidlowi terdapat prasasti berhuruf dan berbahasa Arab artinya : “ Bagi kamu dan bagimu telah diampuni oleh Allah dalam tahun 1028” pada nisan kaki (selatan) terdapat tulisan arab yang artinya : “Haji Ahmad Baidlowi“.

Tahun 1028 H pada nisan tersebut dijadikan angka tahun masehi sama dengan tahun 1618 M. Sedangkan nisan kepala (utara) Makam R.A. Chasan Moekibat terdapat tulisan Arab artinya :

“ Bagi kami dan bagimu telah diampuni oleh Allah 1771 ” apabila angka tahun ini dijadikan angka tahun masehi sama dengan 1757 M.

Pemugaran Masjid Santren Bagelen ini sebagai contoh salah satu kegiatan pemugaran yang telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Purworejo pada tahun 2001 telah mengacu pada Undang-Undang No. 5 tahun 1992 dan PP. Nomor 10 taun 1993.

Jika Anda ingin mendapatkan VCD dokumentasi masjid ini silahkan kunjungi/klik disini.


Data :

1. Eko Riyanto, Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

2. Foto – foto : Agung Pranoto

15 November 2010

SITUS BATU GAJAH

Situs Batu Gajah merupakan kelompok menhir dengan jumlah 5 buah yang merupakan delta pertemuan antara sungai Kodil dengan sungai Bogowonto. Benda cagar budaya ini terletak di Desa Mudalrejo Kec. Loano .

Menhir 1 dan 2 mengarah ke selatan dimana pada radius 200 meter diarah ini mengalir Sungai Kodil. Sementara 150 meter dari kelompok menhir ini, mengalir Sungai Bogowonto. Kelompok menhir ini khususnya menhir 1, 2, 3 dan 4 jika dihubungkan akan membentuk bidang persegi panjang dengan menhir 5 terletak di bagian tengah. Bidang ini memiliki orientasi Barat Timur, mengarah ke Sungai Bogowonto.

Menilik dari keletakan dan arah menhir dan susunan menhir serta orientasi menhir, dapat diduga bahwa kelompok menhir ini berfungsi sebagai sarana pemujaan arwah nenek moyang. Pusat pemujaan dititik beratkan pada menhir 5 yang berada di bagian tengah yang dikelilingi oleh empat menhir lainnya. Hal ini didukung oleh keberadaan 2 buah sungai yang mengalir di bagian selatan (Sungai Kodil) dan dibagian barat (Sungai Bogowonto). Sementara fungsi yang mengarah pada pertanda adanya penguburan atau pertanda batas antara daerah sakral dengan daerah profan kiranya kurang mendukung. Temuan megalit yang mengarah pada upacara penguburan, seperti batu dakon atau lumpang batu tidak dijumpai disekitar situs.

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Dr. Haris Sukendar yang menyatakan bahwa menhir-menhir yang diletakkan ditempat yang strategis umumnya lebih sesuai untuk pemujaan (Sukendar, 1983). Sejalan dengan pendapat ini, R.P. Soejono mengemukakan bahwa pendirian bangunan-bangunan megalit selalu berdasarkan kepercayaan akan adanya hubungan antara yang masih hidup dengan yang mati, terutama kepercayaan akan pengaruh kuat arwah nenek moyang terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman (Soejono, 1984 : 194).

Dioleh dari sumber :
1. Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
2. Foto : Widiharto, Eko Riyanto


LEGENDA NYAI BAGELEN

Menurut ceritera rakyat nama Bagelen itu sudah ada sejak jaman dahulu, yaitu negeri Medangkamulan atau Medang Gele atau Pagelen yang memerintah negeri itu ialah Sri Prabu Kandiawan yang berputera lima orang yang masing-masing memerintah Negara Bagian.

Putra sulung bernama Sri Panuwun, ahli dalam pengairan, pertanian dan pemerintahan dan memerintah Negara bagian Medang Gele, yang akhirnya bernama Pagelen.

Putra yang kedua bernama Si Sendang Garbo, ahli perdagangan dan memerintah didaerah Jepara. Putra yang ketiga berkedudukan di Prambanan bernama Karungkala. Yang keempat bernama Sri Petung Laras atau tunggul Ametung memerintah di Kediri. Dan yang bungsu bernama Sri Djetayu, memerintah di Kahuripan. Kerajaan Medangkamulan adalah negeri yang aman, tentram dan makmur. Karena rajanya berlaku adil dan jujur. Sri Prabu Kadiawan meninggal dalam tahun yang ditandai dengan suryasengkala “RUPA TRI MUKSENG LEBU“ yang berarti kurang lebih 1031 yang kemudian yang menggantikan ialah putranya yang sulung, Sri Panuwun.

Prabu Panuwun mempunyai dua orang anak, tetapi semuanya cacat. Maka sang Prabu bersedih yang selanjutnya bersemedi untuk mohon petunjuk Dewata. Akhirnya diperoleh suatu petunjuk gaib, bahwa ia harus pergi kesuatu sendang di Somolangu. Di daerah tersebut Sang Prabu Panuwun memperistri anak perempuan Kyai Somolangu. Dari perkawinannya itu kemudian dianugrahi seorang anak perempuan yang diberi nama “Raden Rara Wetan” Yang kelak terkenal dengan nama “ NYAI BAGELEN “ dan menjadi pewaris daerah Bagelen.

Setelah dewasa Rara Wetan menjadi isteri Pangeran Awu Awu Langit yang berkedudukan di daerah Ngombol.

Karena Sri Panuwun berpindah kedudukan di Hargopura (Hargorojo), maka Pangeran Awu Awu Langit menggantikan kedudukannya di Bagelen .

Pengairan di daerah tersebut maju sehingga pertanian-pun maju dengan pesat. Hasil pertanian yang utama ialah padi ketan wulung dan kedele. Dan Nyai Bagelen bersama suaminya disamping sebagai petani maju juga beraktifitas sebagai penenun.

Perkawinannya dengan Pangeran Awu Awu Langit Nyai Bagelen dikaruniai tiga orang anak. Yang sulung bernama Raden Bagus Gento, dan yang kedua dan ketiga masing-masing perempuan yang bernama Raden Rara Taker dan Raden Rara Pitrah.

Pada suatu hari Selasa Wage, ketika Nyai Bagelen sedang menenun dan anak-anaknya asyik bermain-main tidak jauh dari ia bekerja , tiba-tiba Nyi Bagelen alangkah terkejut karena bukan putranya yang sedang menyusu, melainkan seekor anak lembu. Kemudian dicarilah kedua anak perempuannya dan ditanyakan kepada suaminya yang sedang asyik memilihi bibit ketan wulung. Karena jawaban dari suaminya kurang mengenakkan, maka dengan alat tenunnya didorongnya lumbung padi dan kedele sehingga isinya berhamburan. Lumbung padi itu terlempar jauh dan tersangkut di pohon beringin di desa Krendetan dan yang sebuah lagi jatuh di desa Penatak (Somorejo).

Padi dan kedele berhamburan jatuh di desa Ketesan dan Wingko-tinumpuk. Namun bukan main terkejutnya Nyai Bagelen ketika dilihat kedua anak perempuannya terbaring pada bekas lumbung dalam keadaan telah meninggal.

Terjadilah pertengkaran antar suami istri. Dan suaminya Pangeran Awu Awu langit memutuskan pulang ke daerah asalnya dan kemudian meninggal di desa Awu-Awu. Ketika mendengar berita suaminya meninggal, maka Nyai Bagelen berpesan kepada anaknya sulung Raden Bagus Gento; semua anak cucu serta keturunanku dilarang atau berpantang untuk berpergian atau jual beli , mengadakan hajad pada hari pasaran Wage, karena hari pasaran itu saat jatuhnya bencana dan merupakan hari yang naas. Kecuali itu juga bagi orang-orang asli Bagelen berpantang untuk menanam kedele, memelihara lembu, memakai pakaian yang menyerupai pakaian yang dipakai Nyai Bagelen waktu datang bulan yaitu : kain lurik, kebaya gadung melati dan kemben bangau tulis.

Setelah menyampaikan pesan itu , Nyai Bagelen masuk ke kamarnya dan kemudian menghilang, tanpa meninggalkan bekas atau murca

Dan selanjutnya Raden Bagus Gento menggantikan kedudukannya memerintah daerah Bagelen.

Raden bagus Gento mempunyai anak yang bernama Kyai Rodjo Pandito, yang setelah meninggal dimakamkan di desa Margorejo. Kyai Rodjo Pandito mempunyai putra yang bernama Dewi Rengganis dan makamnya di desa Semono.

Komplek petilasan Nyai Bagelen terdapat sejumlah makam kuno dan peninggalan sejarah Buddha yang berupa stupa-stupa berjumlah sembilan buah dengan masing-masing ukuran stupa yang berbeda dan dinyatakan sebagai peninggalan sejarah purbakala yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Jika Anda ingin memiliki buku tentang legenda Nyi Bagelen ini silahkan klik disini.

Diolah dari sumber :
1. Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
2. Foto : Widiharto, Eko Riyanto