Sejarah HKS yang ada di Indonesia tidak bisa dilepaskan
dengan sejarah negeri Belanda. Yang pada waktu tersebut diduduki Perancis dan “mendapatkan”
pengalihan kekuasaan dari VOC atas Hindia Belanda serta mendapatkan pengalihan
dari Inggris. Berlanjut pada babak belurnya ekonomi Belanda dalam menghadapi Perang
Diponegoro / Perang Jawa. Untuk memperbaiki ekonominya, Belanda menjalankan
Cultuurstelsel (Tanam Paksa) di Hindia Belanda. Cultuurstelsel tidak memberikan
kesempatan kepada pribumi untuk berpikir maju dan berkembang, karena pembatasan
sekolah-sekolah/ pendidikan bagi mereka. Nama-nama seperti Douwes Dekker dan
Van Deventer menyuarakan lantang bagi perbaikan / balas budi terhadap para
warga tanah Hindia Belanda.
Saat itu hanya ada Sekolah kelas II untuk rakyat umum dan
Sekolah Dasar Kelas I untuk anak pegawai negeri. Dengan adanya pembukaan perkebunan
swasta di Hindia Belanda banyak orang
Belanda yang datang ke Hindia Belanda untuk mengelola perkebunan. Hal ini diikuti
dengan perbaikan jalan, moda transportasi kereta api dan pelabuhan. Tentu saja,
pendidikan mulai digalakkan. Lebih murah mendidik warga pribumi daripada
membawa orang terdidik dari negeri Belanda. Saat itu juga terjadi peralihan
teknologi dari barat ke Hindia Belanda. Pabrik-pabrik dijalankan dengan mesin “modern”
yang didatangkan dari barat.
Sekolah-sekolah dasar dengan bahasa pengantar Belanda
didirikan. Didirikan pula sekolah menengah (MULO), AMS dan macam-macam sekolah
kejuruan (Sekolah Teknik Menengah, Sekolah Pertanian, Sekolah Pelayaran,
Sekolah Kedokteran, Sekolah Kepolisian, Sekolah Guru, Sekolah Pemerintahan dll).
Tahun 1917 sekolah kelas I dirubah menjadi HIS (Hollands Inlandsche School) disamping
adanya Eurepese Lagere School. HIS diadakan di ibukota kawedanan atau kabupaten.
Untuk mengajar sekolah-sekolah tersebut maka diperlukan
pendidik/ guru. Untuk mendidik calon guru yang mampu mengajar bahasa Belanda, maka
pada tahun 1914 didirikanlah di Purworejo, Hoogere Kweekschool (HKS), lebih tinggi dari
Kweekschool (Sekolah Guru). Muridnya dipilih dari MULO atau dari Kweekschool. Selama 3 (tiga) tahun murid murid HKS
digembleng dengan bahasa Belanda dan mendapatkan pelajaran ilmu mendidik,
ilmu pengetahuan umum serta harus tinggal dalam asrama dengan pengawasan ketat. Murid-murid
ini berasal dari berbagai macam suku dan dihimpun dalam satu perkumpulan
bernama De Broederschap. Jika Belanda memecah belah suku bangsa di Hindia
Belanda, namun di HKS mereka malah berhimpun.
Pada akhirnya, para lulusan HKS banyak yang mengajar di HIS
dan Schakelschool, dalam bahasa Belanda.
HKS Purworejo diresmikan
pada 19 Oktober 1914 dan ditutup pada tahun 1930. Ketika ditutup para murid
kelas III dipindahkan ke HKS Bandung dengan diampu oleh Tuan Van Otterloo
(kelak dia menjadi Direktur HKS Bandung menggantikan Meneer Van der Laan yang pulang
pensiun ke Den Haag pada tahun 1930), sementara murid kelas II dipindahkan ke
HKS Magelang. (Catatan : pada saat itu hanya ada 3 (tiga) HKS yaitu di
Purworejo, Bandung dan Magelang). Pada bulan Juli 1931 HKS Bandung di tutup.
Murid kelas III dipindahkan ke HKS Magelang. Di Magelang berkumpul siswa kelas
III dari HKS Purworejo dan Bandung selain dari Magelang sendiri. Akhirnya HKS Magelang
ditutup pada tahun 1932.
Ada catatan menarik, bahwa terdapat lulusan HKS Purworejo tahun 1920 bernama Oto Iskandar Dinata (anggota Volksraad / "Dewan Rakyat", semacam DPR, yang dibentuk pada masa Hindia Belanda untuk periode 1930-1941, menjadi Pemimpin surat kabar Tjahaja tahun 1942-1945, anggota BPUPKI dan PPKI yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan, Oto menjabat sebagai Menteri Negara pada kabinet yang pertama Republik Indonesia tahun 1945).
Ada catatan menarik, bahwa terdapat lulusan HKS Purworejo tahun 1920 bernama Oto Iskandar Dinata (anggota Volksraad / "Dewan Rakyat", semacam DPR, yang dibentuk pada masa Hindia Belanda untuk periode 1930-1941, menjadi Pemimpin surat kabar Tjahaja tahun 1942-1945, anggota BPUPKI dan PPKI yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan, Oto menjabat sebagai Menteri Negara pada kabinet yang pertama Republik Indonesia tahun 1945).
sebaiknya foto nggak usah dikasih watermark. Karena foto itu kan bukan penulis yang ambil gambar. tapi kan nyomot dari berbagai sumber (harusnya ditambahkan keterangan dibawah foto, sumbernya darimana).
BalasHapus