26 Desember 2011
PROSESI GUYANG JARAN (Desa Karangrejo, Kec. Loano)
05 November 2011
ARCA EMAS SEPLAWAN
Sepasang arca yang dibuat dari logam mulia itu (arca kautuka) adalah Siva dan Parvati yang berdiri di atas dua buah lapik. Lapik pertama berbentuk persegi dengan bahan perak dan berukuran 4,6 cm x 9,8 cm x 9,8 cm, sedangkan lapik kedua berbentuk padma dari emas berukuran 2,9 cm x 7,2 cm, pada permukaannya dihias dengan motif geometris. Tinggi arca Siva 12,6 cm sedangkan arca Parvati hanya 11,7 cm, arca-arca tersebut termasuk dalam golongan arca chala, yaitu arca yang dapat dipindahkan karena berukuran kecil.
Di dalam masing-masing lapik terdapat batu permata berwarna-warni, manik-manik, lembaran emas, dan tanah yang merupakan intisari dari keberadaan dewa-dewi. Tanpa inti tersebut dewa dan pasangannya tidak akan bertempat pada arca tersebut dengan demikian arca tidak akan ada artinya dalam pemujaan.
Baik Siva maupun Parvati digambarkan memakai jatamukuta dan hiasan kepala bermotif flora. Di belakang kepala mereka masing-masing terdapat siraschakra yang dihias dengan garis-garis yang membentuk bulu burung atau api, dibalik siraschakra tersebut terdapat chattra. Perhiasan yang digunakan oleh kedua arca tersebut adalah subang atau anting-anting dengan hiasan daun (patrakundala), kalung (hara), kelat bahu (keyura), gelang siku, gelang tangan (kankana), ikat dada (kuchabandha), dan ikat pinggang (udharabandha atau katibandha), serta selendang. Siva dan Parvati mengenakan tali kasta atau upavita yang digambarkan secara sederhana dengan menggores tubuhnya, namun tali kasta tersebut tidak digambarkan sampai tubuh bagian belakang. Bagian belakang kedua arca tersebut terdapat semacam bunga berbentuk segienam.
Siva digambarkan berdiri dengan sikap samabanga dengan dua tangan, dan yang menarik arca Siva tersebut digambarkan tanpa menggunakan atributnya. Telapak tangan kanan Siva menengadah, tangan kirinya menggandeng tangan kanan pasangannya, matanya melotot, pada dahinya terdapat goresan berbentuk bulatan kecil. Pakaian yang dipakai adalah kain dengan motif bunga yang dibuat dengan cara menggoreskan polanya, pada bagian pinggang diikat dengan selendang. Kain yang dipakai Siva menutup dari pinggul sampai lutut kiri sedangkan di bagian kanan hanya menutup pinggulnya saja, namun bagian di belakang kain tersebut menutup sampai mata kaki. Jenis pakaian tersebut mirip dengan dhoti dari India atau dodot dari Jawa.
Pasangan Siva, Parvati juga digambarkan berdiri tegak (samabanga) dan bertangan dua. Tangan kanannya menggandeng Siva, sedangkan tangan kirinya terletak di depan perutnya dan membawa sebuah benda bulat. Pakaian yang dikenakan tidak berbeda jauh dengan Siva, kainnya menutup pinggul sampai dengan mata kaki. Kain pada bagian pinggul tampaknya dilipit, terlihat dari bentuknya yang berliku-liku dan kemudian diikat dengan selendang, kain yang dipakai oleh Parvati semakin memperjelas bahwa jenis pakaian tersebut mirip dengan dhoti atau dodot.
Tampaknya pembuatan arca Siva dan Parvati itu tidak hanya menggunakan sebuah cetakan saja. Terlihat jelas bahwa arca tersebut terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu lapik persegi, lapik berbentuk padma, arca, chattra, siraschakra, dan hiasan berbentuk segienam yang masing-masing dibuat terpisah, bagian-bagian tersebut kemudian digabungkan.
Antara lapik persegi dan padmasana disatukan dengan menggunakan empat buah paku emas pada keempat arah mata angin, namun salah satu pakunya kini telah hilang. Antara arca dan padmasana disatukan dengan menggunakan paku emas pula. Demikian juga dengan siraschakra, chattra, dan hiasan berbentuk segienam, masing-masing disatukan dengan paku atau keling emas.
Meskipun atribut yang dibawa dapat dikatakan tidak ada kecuali benda yang di tangan kiri Parvati, terdapat beberapa petunjuk yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sepasang arca tersebut. Rambut masing-masing arca dalam bentuk jatamukuta, mata arca laki-laki melotot, hal itu menunjukkan bahwa arca dalam aspek krodha, selain itu pada dahi terdapat goresan berbentuk bulat, mungkin merupakan penggambaran trinetra. Arca perempuan membawa mutiara yang mampu mengabulkan keinginan atau cudamani, atribut tersebut biasa dibawa oleh Visnu. Namun, penggambaran Siva dan Visnu dalam sebuah arca sangat umum dikenal pada Masa Jawa Kuno, yaitu Harihara.
Arca tersebut diperkirakan berasal dari masa Klasik Jawa Tengah, sekitar abad IX-X Masehi berdasarkan bentuk padmasananya yang khas masa Klasik Jawa Tengah dan motif hias pakaian yang dikenakan mirip dengan motif hias tokoh Rama dan Sinta pada relief mangkuk temuan dari Wonoboyo.
*)disarikan dari Indonesian Gold Maud Girard Geslan, Indonesian Gold, Treasure from the National Museum Jakarta, Queenslan Art Gallery, Gallery Store, Australia, 1999.
Sumber : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah (http://purbakalajawatengah.org/)
PEMUGARAN SDN PURWOREJO
Sumber :
Website Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah (http://purbakalajawatengah.org/)
Foto : Eko Riyanto
22 Juni 2011
PABRIK GULA DI JENAR
Pabrik Gula Jenar Selesai Dibangun dan Mulai Beroperasi tahun 1910
*) Foto-foto koleksi Tropenmuseum (KIT)
sumber dan upload atas seijin dari :
Slamet Wiyadi, dalam http://bloggerpurworejo.com/2011/05/pabrik-gula-jenar/
catatan : tanpa mengurangi isi, beberapa kalimat kami sesuaikan.
16 Juni 2011
ANTARA BAGELEN (PURWOREJO) DAN BAGELEN (KAB. PESAWARAN, LAMPUNG)
BAGELEN, Daerah Kolonisasi (sekarang disebut Transmigrasi) Pertama di Indonesia
Sejarah panjang transmigrasi di Indonesia dimulai pada masa pendudukan pemerintah kolonial Belanda yang awalnya dikenal dengan istilah kolonisasi. Program tersebut merupakan bagian dari politik etis (etische politiek) yang dicanangkan Gubernur Jenderal Van de Venter, yakni politik balas budi pada rakyat Indonesia yang garis besarnya meliputi program irigasi, edukasi, dan kolonisasi.
TAKTIS. Itulah ungkapan yang tepat untuk strategi yang digunakan pemerintah Belanda ketika melancarkan ekspansinya ke luar Jawa. Upaya mereka untuk memperluas wilayah perkebunan di luar Jawa, dibangun dengan pendekatan sosiologis dan antropologis yang amat akurat.
SEBELUM Pemerintah Kolonial Belanda datang, mereka lebih dahulu mengirim para ahli sosiologi dan antropologi terkemuka, Snouck Hurgronje (1857-1936), untuk melihat dan memahami budaya dan perilaku masyarakat setempat.
Hal itu juga dilakukan Belanda ketika hadir di Lampung. Mereka mengadaptasi sistem pemerintahan lokal untuk mengontrol kawasan yang kaya hasil bumi itu.
Pemerintah Kolonial Belanda saat itu tetap menghidupkan pola pemerintahan lokal yang berbentuk kepasirahan atau komunitas masyarakat adat.
Sistem itu memberi keleluasaan pada Belanda untuk mengontrol masyarakat. Bahkan, Belanda saat itu membiarkan kepasirahan menggunakan tata hukum lokal untuk menangani kasus-kasus tertentu.
Penetapan kepasirahan yang dilakukan pada tahun 1920 hingga 1928, disertai dengan penetapan dan pembagian wilayah riil pada marga-marga yang ada dalam kepasirahan itu. Pada tahun 1928, pemerintah Hindia Belanda mengatur kembali struktur masyarakat hukum adat yang berbentuk marga.
Pengaturan itu tertuang dalam Marga Regering Voor de Lampungche Districten. Dengan pengaturan itu, di Lampung terdapat 83 marga. Sebanyak 78 dari 83 marga itu merupakan marga mayoritas penduduk asli Lampung.
Penegasan administratif itu menjadi dasar penyelesaian konflik tanah pada masa itu. Batas-batas wilayah menjadi tanggung jawab masing-masing marga. "Semua persoalan yang berkaitan dengan tanah saat diselesaikan mengacu pada ketentuan itu,"
Meskipun demikian, kemunculan kepasirahan itu tidak meminggirkan kontrol Belanda terhadap perilaku warga. Kepemimpinan lokal dan modernisasi administrasi hukum lokal menjadi tanggung jawab pasirah (kepala marga). Namun, kasus-kasus yang berkaitan dengan kriminalitas dan keamanan lokal menjadi wewenang Pemerintah Belanda.
Cara Belanda untuk menguasai Lampung terbukti berhasil. Bahkan, taktik tidak mengubah susunan struktural masyarakat adat yang telah ada, memberi keleluasaan bagi Belanda untuk mengelola wilayah itu.
Dengan pendekatan demikian, Belanda mampu menguasai kawasan yang membentang dari Bakauheni di ujung Pulau Sumatera hingga Liwa, Blambangan Umpu, dan Mesuji yang merupakan wilayah yang berbatasan dengan Sumatera Selatan saat ini.
Selain mengadopsi sistem lokal dalam tata pemerintahan administratif, penggunaan strategi infrastruktur yang dilakukan Belanda pun terbukti akurat. Misalnya, pembukaan wilayah-wilayah pedalaman Lampung dengan kereta api, membuat Belanda menguasai betul jalur perdagangan lada yang merupakan komoditas utama masa itu.
Jaringan jalan utama dan irigasi teknis masa itu dibangun untuk memberi akses yang lebih bagi Belanda untuk mengeksploitasi kekayaan alam Lampung. Bahkan, untuk menggenjot laju perkembangan hasil bumi waktu Belanda melancarkan kolonisasi di Lampung. Itu mengulang sukses Belanda dalam pengelolaan lahan perkebunan di Deli Serdang dan Medan, Sumatera Utara. Antara tahun 1905 dan 1942 Belanda mendatangkan ribuan warga dari Jawa untuk bekerja di ladang-ladang kopi, tebu, dan persawahan.
Kolonisasi Desa Bagelen
Program kolonisasi pertama berlangsung pada tahun 1905. Saat itu, kafilah generasi pertama adalah Almarhum Bapak Kartoredjo, cikal bakal kolonisasi desa Bagelen angkatan 1905, melalui anaknya yaitu Bapak Sudarmo (majalah dewi 1980) menjelaskan bahwa rombongan kolonis dari jawa diangkut dengan kapal laut merapat di pelabuhan Teluk Betung.
Rombongan kolonis angkatan almarhum Bapak Kartoredjo, setelah sampai di pelabuhan Teluk Betung, selanjutnya berjalan kaki menuju Gedong Tataan selama tiga hari. Barang-barang bawaan dari Jawa dipikul, bila lelah rombongan tersebut istirahat. Daerah yang dituju yaitu Gedongtataan masih berupa hutan belukar, demikian cerita yang lahir di desa Bagelen Gedongtataan pada tahun 1910. Almarhum Sudarmo juga menjelaskan (Lampost 24/08/78) bahwa rombongan kolonisasi angkatan almarhum Kartoredjo sebanyak 43 orang, 3 diantaranya adalah wanita untuk tugas khusus masak memasak. Sementara itu, mbah Dono Pawiro (Kolonis angkatan 1908) juga bercerita (majalah Dewi, 1980) betapa sulitnya menerobos hutan. Saat itu ia masih anak-anak dan mengaku belum dikhitan. Rombongan orang dari desa Bagelen Purworejo Jawa Tengah itu menurut almarhum mbah Dono Pawiro berjumlah ratusan orang.
Kedatangan para kolonisasi dari daerah Bagelen Purworejo Jawa Tengah ke Gedongtataan tidak terjadi sekaligus, akan tetapi rombongan tersebut datang secara berangsur-angsur seiring dengan kesiapan penyiapan lahan yang dilakukan oleh rombongan pendahulunya.
Secara umum rombongan dari Jawa yang datang ke Gedongtataan dibagi 5 tahap, yaitu pada tahun 1905 (angkatan pertama) pada tahun 1906, 1907, 1908, dan tahun 1909. Hal ini berarti kedatangan rombongan tersebut direncanakan oleh Pemerintah Hindia Belanda selama 5 tahun berturut-turut.
Selanjutnya, pada tahun 1910, Pemerintah Hindia Belanda menyerahkan tanah-tanah desa Bagelen Gedongtataan pada rakyat desa untuk 537 bauw atau ± 424 Ha, setiap KK mendapat bagian tanah 1 bauw dengan perincian 0,25 bauw untuk pekarangan dan 0,75 bauw untuk persawahan atau perladangan.
Secara terperinci, bedasarkan monografi desa Bagelen Gedongtataan, jumlah rombongan kolonisasi dari daerah Bagelen Purworejo Jawa Tengah yang datang ke Gedongtataan adalah sebagai berikut :
1. Tahun 1905 : 43 orang, terdiri dari 40 orang lakiki-laki dan 3 perempuan, dipimpin oleh Tuan Eteeng.
2. Tahun 1906 : 203 orang (100 KK), dipimpin oleh Tuan Heers.
3. Tahun 1907 : 100 orang (50 KK), dipimpin oleh Tuan Alweek.
4. Tahun 1908 : 500 orang (250 KK)dipimpin oleh Tuan Baang.
5. Tahun 1909 : Jumlah jiwa yang didatangkan tidak jelas, begitu pula yang memimpin.
Perkembangan Desa Bagelen
DULU (1905) hingga 6 Juni 1987, Desa Bagelen ini terdiri dari 10 pedukuhan, yaitu : Pedukuhan bagelen I, Bagelen II, Bagelen III, Bagelen IV, Bagelen V (Jembarangan), Bagelen VI (Kutoarjo I), bagelen VII (Kutoarjo II), Bagelen VIII (Karang Anyar I), Bagelen IX (Karang Anyar II), dan Pedukuhan Bagelen X (Wonorejo).
KINI, sejak tanggal 6 Juni 1987, Desa Bagelen telah dimekarkan menjadi beberapa desa, dan sekarang wilayahnya terdiri dari : pedukuhan Bagelen I, Bagelen II, Bagelen III, dan Pedukuhan Bagelen IV.
KEPALA DESA BAGELEN DARI WAKTU KE WAKTU :
1. Bapak POERWO : 1905 – 1907
2. Bapak KARTOREDJO : 1907 – 1912
3. Bapak SASTRO SENTIKO : 1912 – 1920
4. Bapak PAWIRO TINOYO : 1920 – 1945
5. Bapak MANGUNREJO : 1945 – 1958
6. Bapak SASTRO SUWARNO : 1958 – 1968
7. Bapak SUPARMAN : 1968 – 1970
8. Bapak AHMAD FARIJI : 1970 – 1980
9. Bapak TOYO DAY RIZAL : 1980 – 1988
10. Bapak WAGISO : 1988 – 2006
11. Bapak EDI SUPRIYANTO : 2006 – Sekarang (2009)
sumber :