26 Desember 2011

PROSESI GUYANG JARAN (Desa Karangrejo, Kec. Loano)

Prosesi Guyang Jaran memiliki arti sebagai berikut. Dalam bahasa Jawa, Guyang = Memandikan, sedangkan Jaran = Kuda. Jika dilihat dalam konteks yang dimandikan adalah kuda kepang, maka arti lengkapnya adalah : Memandikan kuda kepang. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Grup Kesenian Kuda Kepang “Turonggo Seto” bersama warga masyarakat lainnya secara rutin setiap tahun sekali. Waktu pelaksanaannya adalah tepat dalam bulan Sura (bulan pertama dalam kalender Jawa). Lazimnya dilaksanakan setelah tanggal 10 Sura. Untuk tanggalnya tidak ditentukan, namun biasanya para sesepuh desa mendapatkan wisik / pesan ghaib dari para leluhur desa, kapan pelaksanaan kegiatan ini harus dilaksanakan.
Adapun maksud dari kegiatan ini adalah Pertama, sebagai wujud rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas keberlangsungan dan keselamatan kegiatan kesenian kuda kepang dan kehidupan masyarakat yang harmonis selama ini. Kedua, sebagai bentuk permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar grup kesenian dan masyarakat desa selalu mendapatkan keselamatan, kesejahteraan, kedamaian dan ketentraman, dan desa mereka dapat terwujud sebagai desa yang gemah ripah loh jinawi. Ketiga, untuk “membersihkan” kelompok kesenian ini dari hal-hal tidak baik yang telah ditemui dalam setiap pementasan maupun keseharian selama satu tahun yang lalu. Pembersihan ini ditandai dengan mencuci semua kuda kepang yang dimiliki oleh grup tersebut di sungai.
Adapun urutan kegiatan yang dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1. Ziarah ke makam para leluhur desa.
Kegiatan ini dilaksanakan oleh para tokoh masyarakat, menuju kompleks makam desa yang terletak di puncak bukit. Dengan membawa uba rampé / kelengkapan, seperti bunga. Para tokoh masyarakat ini mengadakan ziarah dan berdoa di makam para leluhur.  Makam leluhur yang dituju adalah makam dari Pangeran Dipokusumo / Imam Muhammad dan makam para nayaka praja (pejabat) Nagari Purworejo (sebutan dalam bahasa Jawa terhadap Kabupaten Purworejo pada jaman Hindia Belanda) yang dikebumikan di desa setempat.
2.  Guyang Jaran
Prosesi pertama ini ditandai dengan dikeluarkannya kuda kepang dari “Kandang Jaran”. Kandang = tempat tinggal binatang, Jaran = kuda. Kandang disini adalah istilah / kata lain dari rumah warga yang dijadikan tempat penyimpanan kuda kepang. Dari rumah / kandang jaran tersebut kuda kepang diarak dengan diiringi tetabuhan menuju ke pinggir sungai yang mengaliri desa yaitu sungai Bogowonto dan sungai Gading. Pada pertemuan antara 2 (dua) aliran sungai inilah nanti kegiatan Guyang Jaran akan dilaksanakan.
Pada waktu yang telah ditentukan, para pengrawit (penabuh gamelan) dan penari akan melaksanakan tarian di tempuran sungai tersebut dengan menceburkan kuda kepang ke dalam air.
Para penari yang ikut dalam prosesi ini adalah yang telah berusia lanjut / tua, dikarenakan yang disajikan dalam prosesi ini adalah tarian kuno / tradisi. Karena menurut kepercayaan setempat, pementasan kuda kepang harus didahului dengan tarian yang tradisi, setelah itu baru diperbolehkan tarian yang sudah mendapat sentuhan gerak modern.
Para penari kelompok kuda kepang dalam prosesi ini mempergunakan pakaian serba hitam.
3.  Wilujèngan
Wilujèngan / selamatan merupakan kegiatan kenduri dengan menghadirkan seluruh anggota kelompok kuda kepang dan masyarakat. Dilaksanakan pada malam hari setelah kegiatan Guyang Jaran. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan dengan mengambil tempat di Balai Desa. Sajian yang dikendurikan adalah makanan khas desa setempat, bahkan makan bersama dilaksanakan dengan menggunakan pincuk /daun pisang yang dibentuk menyerupai piring.
4.  Pentas
Prosesi terakhir adalah pentas. Pentas ini merupakan pergelaran yang dilakukan oleh seluruh pemain dan pengrawit terdiri dari 3 (tiga) generasi. Mereka terdiri dari : generasi anak-anak, pemuda, dan orang tua.  Masing-masing menari dengan waktu yang bergantian. Ini menunjukkan atau sebagai wujud dari :  Pertama, kebersamaan baik dalam grup kesenian itu sendiri maupun antar grup kesenian dan masyarakat. Karena pementasan ini ditonton atau dinikmati oleh masyarakat luas. Kedua, terjadi proses regenerasi dalam grup atau kesenian kuda kepang di desa setempat, merupakan bentuk nyata upaya dari para sesepuh / orang tua dalam meneruskan atau melanggengkan kesenian ini. Kegiatan ini dilaksanakan di tanah lapang, dengan durasi lama.

05 November 2011

ARCA EMAS SEPLAWAN

Pada tahun 1979 sepasang arca dewa-dewi dalam bentuk chitra (arca “penuh” atau digambarkan tiga dimensi) ditemukan di dalam sebuah gua di lereng Gunung Seplawan, tepatnya di Dusun Grotto, Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah. Arca dari emas tersebut berada di dalam sebuah wadah perunggu dan terletak di atas stalakmit yang dipotong sehingga menyerupai altar.

Sepasang arca yang dibuat dari logam mulia itu (arca kautuka) adalah Siva dan Parvati yang berdiri di atas dua buah lapik. Lapik pertama berbentuk persegi dengan bahan perak dan berukuran 4,6 cm x 9,8 cm x 9,8 cm, sedangkan lapik kedua berbentuk padma dari emas berukuran 2,9 cm x 7,2 cm, pada permukaannya dihias dengan motif geometris. Tinggi arca Siva 12,6 cm sedangkan arca Parvati hanya 11,7 cm, arca-arca tersebut termasuk dalam golongan arca chala, yaitu arca yang dapat dipindahkan karena berukuran kecil.

Di dalam masing-masing lapik terdapat batu permata berwarna-warni, manik-manik, lembaran emas, dan tanah yang merupakan intisari dari keberadaan dewa-dewi. Tanpa inti tersebut dewa dan pasangannya tidak akan bertempat pada arca tersebut dengan demikian arca tidak akan ada artinya dalam pemujaan.

Baik Siva maupun Parvati digambarkan memakai jatamukuta dan hiasan kepala bermotif flora. Di belakang kepala mereka masing-masing terdapat siraschakra yang dihias dengan garis-garis yang membentuk bulu burung atau api, dibalik siraschakra tersebut terdapat chattra. Perhiasan yang digunakan oleh kedua arca tersebut adalah subang atau anting-anting dengan hiasan daun (patrakundala), kalung (hara), kelat bahu (keyura), gelang siku, gelang tangan (kankana), ikat dada (kuchabandha), dan ikat pinggang (udharabandha atau katibandha), serta selendang. Siva dan Parvati mengenakan tali kasta atau upavita yang digambarkan secara sederhana dengan menggores tubuhnya, namun tali kasta tersebut tidak digambarkan sampai tubuh bagian belakang. Bagian belakang kedua arca tersebut terdapat semacam bunga berbentuk segienam.

Siva digambarkan berdiri dengan sikap samabanga dengan dua tangan, dan yang menarik arca Siva tersebut digambarkan tanpa menggunakan atributnya. Telapak tangan kanan Siva menengadah, tangan kirinya menggandeng tangan kanan pasangannya, matanya melotot, pada dahinya terdapat goresan berbentuk bulatan kecil. Pakaian yang dipakai adalah kain dengan motif bunga yang dibuat dengan cara menggoreskan polanya, pada bagian pinggang diikat dengan selendang. Kain yang dipakai Siva menutup dari pinggul sampai lutut kiri sedangkan di bagian kanan hanya menutup pinggulnya saja, namun bagian di belakang kain tersebut menutup sampai mata kaki. Jenis pakaian tersebut mirip dengan dhoti dari India atau dodot dari Jawa.

Pasangan Siva, Parvati juga digambarkan berdiri tegak (samabanga) dan bertangan dua. Tangan kanannya menggandeng Siva, sedangkan tangan kirinya terletak di depan perutnya dan membawa sebuah benda bulat. Pakaian yang dikenakan tidak berbeda jauh dengan Siva, kainnya menutup pinggul sampai dengan mata kaki. Kain pada bagian pinggul tampaknya dilipit, terlihat dari bentuknya yang berliku-liku dan kemudian diikat dengan selendang, kain yang dipakai oleh Parvati semakin memperjelas bahwa jenis pakaian tersebut mirip dengan dhoti atau dodot.

Tampaknya pembuatan arca Siva dan Parvati itu tidak hanya menggunakan sebuah cetakan saja. Terlihat jelas bahwa arca tersebut terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu lapik persegi, lapik berbentuk padma, arca, chattra, siraschakra, dan hiasan berbentuk segienam yang masing-masing dibuat terpisah, bagian-bagian tersebut kemudian digabungkan.

Antara lapik persegi dan padmasana disatukan dengan menggunakan empat buah paku emas pada keempat arah mata angin, namun salah satu pakunya kini telah hilang. Antara arca dan padmasana disatukan dengan menggunakan paku emas pula. Demikian juga dengan siraschakra, chattra, dan hiasan berbentuk segienam, masing-masing disatukan dengan paku atau keling emas.

Meskipun atribut yang dibawa dapat dikatakan tidak ada kecuali benda yang di tangan kiri Parvati, terdapat beberapa petunjuk yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sepasang arca tersebut. Rambut masing-masing arca dalam bentuk jatamukuta, mata arca laki-laki melotot, hal itu menunjukkan bahwa arca dalam aspek krodha, selain itu pada dahi terdapat goresan berbentuk bulat, mungkin merupakan penggambaran trinetra. Arca perempuan membawa mutiara yang mampu mengabulkan keinginan atau cudamani, atribut tersebut biasa dibawa oleh Visnu. Namun, penggambaran Siva dan Visnu dalam sebuah arca sangat umum dikenal pada Masa Jawa Kuno, yaitu Harihara.

Arca tersebut diperkirakan berasal dari masa Klasik Jawa Tengah, sekitar abad IX-X Masehi berdasarkan bentuk padmasananya yang khas masa Klasik Jawa Tengah dan motif hias pakaian yang dikenakan mirip dengan motif hias tokoh Rama dan Sinta pada relief mangkuk temuan dari Wonoboyo.

*)disarikan dari Indonesian Gold Maud Girard Geslan, Indonesian Gold, Treasure from the National Museum Jakarta, Queenslan Art Gallery, Gallery Store, Australia, 1999.

Sumber : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah (http://purbakalajawatengah.org/)

PEMUGARAN SDN PURWOREJO













HISTORIS - ARKEOLOGIS
SDN Purworejo pada masa Belanda dulu bernama Gouvernement Europesche Lagere School, didirikan pada tahun 1848. Sekolah ini merupakan sekolah rendah yang diperuntukkan bagi anak-anak orang Eropa. Pada perkembangan selanjutnya, tahun 1852, sekolah ini diubah menjadi sekolah untuk anak-anak pribumi (Hollands Inlandsche School). Kurikulum yang diajarkan untuk anak-anak pribumi antara lain membaca dan menulis jawa, berhitung, ilmu bumi, dan ilmu ukur. Inlandsche School mengalami pasang surut seiring kebijakan pemerintah kolonial Belanda, yang dilanjutkan dengan perang kemerdekaan sehingga kemudian berganti nama menjadi Sekolah Rakyat Kontrolieren (baca: Kontroliran). Sekolah ini merupakan percontohan dan sekolah kendali mutu pada waktu itu. Dalam perjalanannya, terkait animo masyarakat yang sangat tinggi untuk menyekolahkan anaknya, sekolah ini dipecah menjadi dua, yaitu SDN Kontroliran dan SDN Purworejo. Sesuai dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah No. 421.2/035/I/57/85 SDN Kontroliran diganti namanya menjadi SDN Purworejo II. Kemudian sejak tahun pelajaran 2003/2004 dengan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Purworejo No. 188.4/5705/2003, SDN Purworejo I dan SDN Purworejo II digabung menjadi satu dengan nama SDN Purworejo (_, 2008: 1). Bangunan lama yang ada di SDN Purworejo terdiri dari bangunan induk (lima ruang kelas dan gudang), doorloop, kamar mandi/WC dan aula. Beberapa ciri kolonial yang masih tampak pada bangunan induk antara lain pada pintu, jendela, dan langit-langit yang cukup tinggi, serta lantai bangunan yang terbuat dari granit hitam. Sedangkan bangunan barunya terdiri dari ruang guru, ruang kelas pada sisi selatan, timur dan utara), perpustakaan, musholla, ruang ketrampilan, bimbingan dan penyuluhan, ruang UKS, rumah dinas penjaga sekolah, ruang gugus depan dan kamar mandi/WC baru. Bangunan SDN Purworejo telah masuk dalam daftar inventarisasi benda cagar budaya tidak bergerak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah dengan No. Inv. 11-06/Pwo/TB/41. Saat ini tengah dalam proses pengajuan SK Menteri Kebudayaan dan Pariwisata nomor 619/101.SP/BP3/P-III/2010 tanggal 31 Maret 2010.
NILAI PENTING
SDN Purworejo mempunyai nilai penting dalam menelusuri sejarah pendidikan khususnya di wilayah Purworejo. Sekolah ini dulu merupakan sekolah rendah yang diperuntukkan bagi anak-anak orang Eropa yang pada perkembangan selanjutnya diubah menjadi sekolah untuk anak-anak pribumi. Adanya sekolah mengindikasikan bahwa sejak jaman pemerintahan colonial Belanda telah ada pemenuhan kebutuhan pendidikan di Purworejo.
Kegiatan BP3 Jawa Tengah di SDN Purworejo :
1. Studi Teknis Arkeologis SDN Purworejo pada tahun 2009
2. Pemugaran SDN Purworejo tahun 2011



Sumber :
Website Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah (http://purbakalajawatengah.org/)

Foto : Eko Riyanto

22 Juni 2011

PABRIK GULA DI JENAR


Bagi siapa saja yang pernah membaca riwayat hidup/biografi Jendral Achmad Yani akan mengetahui bahwa Pahlawan Revolusi itu dilahirkan oleh keluarga Bpk. Wongsoredjo dan Ibu Murtini pada tanggal 19 Juni 1922 di Jenar, Purworejo. Pada waktu itu Bpk Wongsoredjo bekerja sebagai sopir Meneer/Tuan Boss, salah satu pimpinan Pabrik Gula Jenar Purworejo dan Pak Yani dilahirkan di perumahan di lingkungan Pabrik tersebut. Tulisan ini tidak bermaksud membahas riwayat hidup Pak Yani yang sudah banyak ditulis dan kita ketahui bersama, namun akan “bercerita” tentang tempat dimana beliau dilahirkan, yaitu PABRIK GULA JENAR.


Pabrik Gula Jenar Selesai Dibangun dan Mulai Beroperasi tahun 1910
Berdasarkan sumber tertulis Belanda, pabrik gula Jenar itu dibangun pada tahun 1909 oleh N.V.Suikeronderneming “Poerworedjo”, sebuah perusahaan terbuka (PT) yang dibentuk pada tahun 1908 di Amsterdam dengan tujuan untuk mengusahakan sebuah pabrik gula di Purworejo dengan modal 5 juta gulden yang terbagai dalam saham masing2 lembar senilai 1000 gulden. Nampaknya pada waktu itu orang Belanda berlomba lomba untuk mendirikan pabrik gula di Jawa sehubungan dengan adanya fasilitas berdasar Undang-Undang Agraria tahun 1870 dan juga mengingat kebutuhan gula di dunia sangat meningkat, sehingga menjelang akhir 1920 jumlah pabrik gula di Jawa ada sekitar 180 buah. Indonesia (Jawa) menjadi salah satu pengeskpor gula terbesar di dunia bersama dengan Kuba.

Untuk membangun “Suikerfabriek Poerworedjo” itu dipilih lokasinya di desa Plandi termasuk kecamatan Purwodadi, yang terletak kira2 di Km. 8 jalan Purworejo- Jogya di sebelah kanan jalan, masuk sekitar kurang 1 km dari jalan besar. Mengapa kemudian terkenal dengan nama pabrik gula Jenar, mungkin karena nama Jenar lebih “populer” dari Plandi bahkan dengan Purwodadi yang waktu itu merupakan salah satu Kawedanan (Distrik) dari Kabupaten Purworejo, dimana Jenar masuk dalam wilayahnya. Itu dugaan saya.Yang jelas pada tahun 1909 pabrik mulai dibangun dengan giatnya dan menjelang akhir tahun 1910 pabrik gula sudah siap dan mulai berproduksi.

Pembangunan pabrik gula ini nampaknya secara fisik telah mengubah wajah daerah Jenar dan Purwodadi. Hampir sebagian besar daerah Kawedanan Purwodadi (dulu) termasuk asistenan/kecamatan di lingkungannya, khususnya kecamatan Purwodadi dan Ngombol, menjadi lahan untuk tanaman tebu sebagai bahan pokok untuk pabrik gula. Daerah Purworejo selatan memang terkenal sebagai daerah persawahan yang cukup luas untuk maksud itu, dan itulah barangkali mengapa lokasi pabrik dipilih disitu.Untuk keperluan tersebut Perusahaan mendapat ijin menyewa tanah (paksa) dari pemilik/penggarap berdasar ketentuan Undang-undang Agraria tahun 1870 tersebut, dan memang Undang2 inilah yang merupakan dasar bagi berkembang-pesatnya pabrik gula di Jawa. Kurang jelas bagi saya apakah seluruh daerah persawahan di daerah selatan pabrik menjadi area tanaman tebu, namun yang jelas area itu cukup luas mengingat kebutuhan bahan baku tebu bagi produksi gula.

Untuk mengangkut hasil tebu dari area yang tersebar luas itu,disamping menggunakan sarana tranportasi tradisional seperti “grobag sapi racuk” lewat jalan2 yang ada, dibangunlah satu jaringan rel kereta-api kecil atau lori sesuai dengan kebutuhan dan menjangkau seluruh area tanaman tebu. Sisa-sisa jaringan itu sampai akhir2 ini (tahun ‘60-an) masih terlihat dibeberapa area persawahan sebagaimana disebut diatas. Dari cerita saksi mata dikatakan bahwa dari Pabrik, rel utama memanjang kearah Purwodadi , sebagaian terus kedaerah Bubutan sepanjang kali Bogowonto dan sekitarnya, dan sebagian belok kekanan terus ke-area tanaman tebu kedaerah Ngombol, Ngangkruk ketip, Wingko, Wunut dan sekitarnya. Sayang data otentik untuk ini tidak ada. Kita hanya bisa menyimpulkan bahwa area tanaman tebu itu pasti cukup luas untuk menjamin “berputar”nya gilingan pabrik gula yang menguntungkan.

Selama berproduksi, pabrik gula Jenar memberikan sumbangan kepada total produksi gula sebanyak 3 juta ton per tahun yang dihasilkan oleh 180 pabrik gula di Jawa, sebagian besar untuk tujuan ekspor. Keuntungan bersih yang diraup oleh pabrik gula Jenar pada tahun 1916 (sebagai contoh) sebesar 51 ribu gulden. Untuk menggambarkan nilai uang sebesar itu harus dibandingkan dengan pendapatan buruh-tani yang saya ketahui ditahun-tahun ‘30-an, sebesar 14 sen sehari dan harga nasi rames satu sen sebungkus/sepincuk. Gaji seorang nDoro Mantri Guru sekolah Vervolkschool (Ongko Loro) sebesar 60-70 gulden/bulan. Gaji sebesar itu sudah cukup untuk hidup “sangat” mewah bagi ukuran desa. Saya sendiri hanya dapat “jatah” dari ibu saya sepuluh sen bila Lebaran datang, dan dari pengumpulan keliling “cari sangu” ada tambahan sekitar 5-6 sen, sudah merasa sebagai orang “kaya”, bisa jajan, beli mainan dan plesir kemana-mana.

Bagaimana pengaruh keberadaan pabrik gula Jenar bagi kesejahteraan masyarakat Bagelen waktu itu? Sebuah studi mengenai hal itu menyatakan bahwa masuknya modal dan kegiatan usaha perkebunan di daerah Bagelen/Purworejo termasuk keberadaan pabrik tersebut hampir tidak berdampak positif secara sosial dan ekonomi. Keuntungan yang berlimpah hanya dinikmati oleh pemilik modal dan “pengusaha antara” yang umumnya di monopoli oleh golongan etnis Cina, sedang penduduk/masyarakat hanyalah sebagai “penonton” yang pasif.

Kejayaan pabrik gula tiba-tiba tersungkur dengan datangnya krisis ekonomi dunia bulan Oktober tahun 1929 yang terkenal dengan depresi besar tahun 1929, dipicu dengan ambruknya Bursa Saham (stock market crash) Wallstreet di New York yang kemudian menjalar keseluruh dunia. Di Eropa “the Great Depression” itu dikenal sebagai “Malaise” dan ke Indonesia di plesetkan sebagai “jaman Meleset” yang berimbas dengan berbagai kesulitan hidup. Sejalan dengan krisis tersebut, permintaan dunia untuk gula anjlog sementara suplai tetap membanjir. Kenyataan itu memaksa diadakan sistem quota yang membatasi produksi gula, yang terkenal dengan perjanjian Charbourne tahun 1931. Indonesia (Jawa) harus menurunkan produksi dari semula 3 juta ton menjadi hanya 1.4 juta ton ( pengurangan lebih dari 50%), akibatnya 9 dari 17 pabrik gula di daerah Jogya “tersungkur” dan tutup.

Nampaknya pabrik gula Jenar tidak bisa menghindar dari kenyataan tersebut dan harus menerima nasib yang sama, tidak bisa bertahan. Tahun 1932 mulai “meregang nyawa” dan akhirnya tahun 1933 tidak ada pilihan lain, bangkrut dan di liquidasi alias bubar… Selesailah sudah episode tentang sebuah pabrik gula Jenar di daerah Purworejo. Ternyata sebuah perusahaan itu tidak ada bedanya dengan kehidupan manusia, dia lahir, tumbuh, berkembang dan mati/menghilang. Seperti halnya umur manusia, nasibnya juga berbeda-beda, ada yang berumur pendek dan ada yang berumur panjang.

Dalam hal pabrik gula Jenar, usianya tidak lebih dari 24 tahun sejak didirikan/dilahirkan tahun 1909, terhitung usia yang pendek. Beberapa pabrik gula yang dibangun sebelum pabrik gula Jenar bahkan masih bisa bertahan sampai saat ini.

Sekarang ini, lebih 100 tahun sejak didirikan dan hampir 80 tahun sejak bubar, nyaris tidak ada lagi kenangan yang tersisa dari keberadaan sebuah pabrik gula Jenar. Di lokasi bekas pabrik hanya tersisa reruntuhan yang tidak memberikan kesan bahwa disitu dulu pernah ada bangunan2 yang besar didaerah Purworejo. Di desa Pulutan, kecamatan Ngombol, masih ada jembatan desa yang tersisa yang dibangun oleh “SUIKERONDERNEMING POERWOREDJO 1925”, itulah salah satu monumen/bukti bagi kita tentang adanya sebuah pabrik gula di Jenar. Selebihnya, generasi sekarang hanya mengenal nama pabrik gula Jenar pada waktu mempelajari riwayat hidup Pahlawan Revolusi Jendral Achmad Yani yang memang lahir di tempat itu.

*) Foto-foto koleksi Tropenmuseum (KIT)

sumber dan upload atas seijin dari :
Slamet Wiyadi, dalam http://bloggerpurworejo.com/2011/05/pabrik-gula-jenar/

catatan : tanpa mengurangi isi, beberapa kalimat kami sesuaikan.

16 Juni 2011

ANTARA BAGELEN (PURWOREJO) DAN BAGELEN (KAB. PESAWARAN, LAMPUNG)


BAGELEN, Daerah Kolonisasi (sekarang disebut Transmigrasi) Pertama di Indonesia

Sejarah panjang transmigrasi di Indonesia dimulai pada masa pendudukan pemerintah kolonial Belanda yang awalnya dikenal dengan istilah kolonisasi. Program tersebut merupakan bagian dari politik etis (etische politiek) yang dicanangkan Gubernur Jenderal Van de Venter, yakni politik balas budi pada rakyat Indonesia yang garis besarnya meliputi program irigasi, edukasi, dan kolonisasi.

TAKTIS. Itulah ungkapan yang tepat untuk strategi yang digunakan pemerintah Belanda ketika melancarkan ekspansinya ke luar Jawa. Upaya mereka untuk memperluas wilayah perkebunan di luar Jawa, dibangun dengan pendekatan sosiologis dan antropologis yang amat akurat.

SEBELUM Pemerintah Kolonial Belanda datang, mereka lebih dahulu mengirim para ahli sosiologi dan antropologi terkemuka, Snouck Hurgronje (1857-1936), untuk melihat dan memahami budaya dan perilaku masyarakat setempat.

Hal itu juga dilakukan Belanda ketika hadir di Lampung. Mereka mengadaptasi sistem pemerintahan lokal untuk mengontrol kawasan yang kaya hasil bumi itu.

Pemerintah Kolonial Belanda saat itu tetap menghidupkan pola pemerintahan lokal yang berbentuk kepasirahan atau komunitas masyarakat adat.

Sistem itu memberi keleluasaan pada Belanda untuk mengontrol masyarakat. Bahkan, Belanda saat itu membiarkan kepasirahan menggunakan tata hukum lokal untuk menangani kasus-kasus tertentu.

Penetapan kepasirahan yang dilakukan pada tahun 1920 hingga 1928, disertai dengan penetapan dan pembagian wilayah riil pada marga-marga yang ada dalam kepasirahan itu. Pada tahun 1928, pemerintah Hindia Belanda mengatur kembali struktur masyarakat hukum adat yang berbentuk marga.

Pengaturan itu tertuang dalam Marga Regering Voor de Lampungche Districten. Dengan pengaturan itu, di Lampung terdapat 83 marga. Sebanyak 78 dari 83 marga itu merupakan marga mayoritas penduduk asli Lampung.

Penegasan administratif itu menjadi dasar penyelesaian konflik tanah pada masa itu. Batas-batas wilayah menjadi tanggung jawab masing-masing marga. "Semua persoalan yang berkaitan dengan tanah saat diselesaikan mengacu pada ketentuan itu,"

Meskipun demikian, kemunculan kepasirahan itu tidak meminggirkan kontrol Belanda terhadap perilaku warga. Kepemimpinan lokal dan modernisasi administrasi hukum lokal menjadi tanggung jawab pasirah (kepala marga). Namun, kasus-kasus yang berkaitan dengan kriminalitas dan keamanan lokal menjadi wewenang Pemerintah Belanda.

Cara Belanda untuk menguasai Lampung terbukti berhasil. Bahkan, taktik tidak mengubah susunan struktural masyarakat adat yang telah ada, memberi keleluasaan bagi Belanda untuk mengelola wilayah itu.

Dengan pendekatan demikian, Belanda mampu menguasai kawasan yang membentang dari Bakauheni di ujung Pulau Sumatera hingga Liwa, Blambangan Umpu, dan Mesuji yang merupakan wilayah yang berbatasan dengan Sumatera Selatan saat ini.

Selain mengadopsi sistem lokal dalam tata pemerintahan administratif, penggunaan strategi infrastruktur yang dilakukan Belanda pun terbukti akurat. Misalnya, pembukaan wilayah-wilayah pedalaman Lampung dengan kereta api, membuat Belanda menguasai betul jalur perdagangan lada yang merupakan komoditas utama masa itu.

Jaringan jalan utama dan irigasi teknis masa itu dibangun untuk memberi akses yang lebih bagi Belanda untuk mengeksploitasi kekayaan alam Lampung. Bahkan, untuk menggenjot laju perkembangan hasil bumi waktu Belanda melancarkan kolonisasi di Lampung. Itu mengulang sukses Belanda dalam pengelolaan lahan perkebunan di Deli Serdang dan Medan, Sumatera Utara. Antara tahun 1905 dan 1942 Belanda mendatangkan ribuan warga dari Jawa untuk bekerja di ladang-ladang kopi, tebu, dan persawahan.

Kolonisasi Desa Bagelen

Program kolonisasi pertama berlangsung pada tahun 1905. Saat itu, kafilah generasi pertama adalah Almarhum Bapak Kartoredjo, cikal bakal kolonisasi desa Bagelen angkatan 1905, melalui anaknya yaitu Bapak Sudarmo (majalah dewi 1980) menjelaskan bahwa rombongan kolonis dari jawa diangkut dengan kapal laut merapat di pelabuhan Teluk Betung.

Rombongan kolonis angkatan almarhum Bapak Kartoredjo, setelah sampai di pelabuhan Teluk Betung, selanjutnya berjalan kaki menuju Gedong Tataan selama tiga hari. Barang-barang bawaan dari Jawa dipikul, bila lelah rombongan tersebut istirahat. Daerah yang dituju yaitu Gedongtataan masih berupa hutan belukar, demikian cerita yang lahir di desa Bagelen Gedongtataan pada tahun 1910. Almarhum Sudarmo juga menjelaskan (Lampost 24/08/78) bahwa rombongan kolonisasi angkatan almarhum Kartoredjo sebanyak 43 orang, 3 diantaranya adalah wanita untuk tugas khusus masak memasak. Sementara itu, mbah Dono Pawiro (Kolonis angkatan 1908) juga bercerita (majalah Dewi, 1980) betapa sulitnya menerobos hutan. Saat itu ia masih anak-anak dan mengaku belum dikhitan. Rombongan orang dari desa Bagelen Purworejo Jawa Tengah itu menurut almarhum mbah Dono Pawiro berjumlah ratusan orang.

Kedatangan para kolonisasi dari daerah Bagelen Purworejo Jawa Tengah ke Gedongtataan tidak terjadi sekaligus, akan tetapi rombongan tersebut datang secara berangsur-angsur seiring dengan kesiapan penyiapan lahan yang dilakukan oleh rombongan pendahulunya.

Secara umum rombongan dari Jawa yang datang ke Gedongtataan dibagi 5 tahap, yaitu pada tahun 1905 (angkatan pertama) pada tahun 1906, 1907, 1908, dan tahun 1909. Hal ini berarti kedatangan rombongan tersebut direncanakan oleh Pemerintah Hindia Belanda selama 5 tahun berturut-turut.

Selanjutnya, pada tahun 1910, Pemerintah Hindia Belanda menyerahkan tanah-tanah desa Bagelen Gedongtataan pada rakyat desa untuk 537 bauw atau ± 424 Ha, setiap KK mendapat bagian tanah 1 bauw dengan perincian 0,25 bauw untuk pekarangan dan 0,75 bauw untuk persawahan atau perladangan.

Secara terperinci, bedasarkan monografi desa Bagelen Gedongtataan, jumlah rombongan kolonisasi dari daerah Bagelen Purworejo Jawa Tengah yang datang ke Gedongtataan adalah sebagai berikut :

1. Tahun 1905 : 43 orang, terdiri dari 40 orang lakiki-laki dan 3 perempuan, dipimpin oleh Tuan Eteeng.

2. Tahun 1906 : 203 orang (100 KK), dipimpin oleh Tuan Heers.

3. Tahun 1907 : 100 orang (50 KK), dipimpin oleh Tuan Alweek.

4. Tahun 1908 : 500 orang (250 KK)dipimpin oleh Tuan Baang.

5. Tahun 1909 : Jumlah jiwa yang didatangkan tidak jelas, begitu pula yang memimpin.

Perkembangan Desa Bagelen

DULU (1905) hingga 6 Juni 1987, Desa Bagelen ini terdiri dari 10 pedukuhan, yaitu : Pedukuhan bagelen I, Bagelen II, Bagelen III, Bagelen IV, Bagelen V (Jembarangan), Bagelen VI (Kutoarjo I), bagelen VII (Kutoarjo II), Bagelen VIII (Karang Anyar I), Bagelen IX (Karang Anyar II), dan Pedukuhan Bagelen X (Wonorejo).

KINI, sejak tanggal 6 Juni 1987, Desa Bagelen telah dimekarkan menjadi beberapa desa, dan sekarang wilayahnya terdiri dari : pedukuhan Bagelen I, Bagelen II, Bagelen III, dan Pedukuhan Bagelen IV.

KEPALA DESA BAGELEN DARI WAKTU KE WAKTU :

1. Bapak POERWO : 1905 – 1907

2. Bapak KARTOREDJO : 1907 – 1912

3. Bapak SASTRO SENTIKO : 1912 – 1920

4. Bapak PAWIRO TINOYO : 1920 – 1945

5. Bapak MANGUNREJO : 1945 – 1958

6. Bapak SASTRO SUWARNO : 1958 – 1968

7. Bapak SUPARMAN : 1968 – 1970

8. Bapak AHMAD FARIJI : 1970 – 1980

9. Bapak TOYO DAY RIZAL : 1980 – 1988

10. Bapak WAGISO : 1988 – 2006

11. Bapak EDI SUPRIYANTO : 2006 – Sekarang (2009)

sumber :

http://pesawarankab.go.id/p1/index.php?option=com_content&view=article&id=85%3Asejarah-desa-bagelen&catid=37%3Aflow-images