Pisowanan
di Kadipaten Karangduwur
Kesenian ini diduga telah ada / mulai dikenal pada abad
XVII. Menurut sejarahnya, kesenian ini bermula ketika Demang[1]
Kesawen (Kesawen saat ini menjadi salah satu desa di Kecamatan Pituruh Kab. Purworejo) mengikuti Pisowanan[2] di Kadipaten[3] Karangduwur[4]. Sambil
menunggu acara pisowanan tersebut dimulai, Demang Kesawen bersama 3 (tiga)
prajuritnya yang bernama Krincing, Dipomenggolo dan Keling melakukan latihan bela diri di lapangan Kadipaten. Ketika
mereka sedang asyik berlatih bela diri dan diketahui oleh Adipati Karangduwur, rupanya
beliau tidak berkenan jika Demang
Kesawen dan anak buahnya melakukan latihan bela diri di alun - alun Karangduwur.
Untuk itu, Adipati memperingatkan kepada Demang Kesawen dan anak buahnya, agar
tidak mengulangi kegiatan serupa lagi di masa yang akan datang.
Demang
Kesawen yang Tak Jera
Walaupun telah ditegur oleh Adipati Karangduwur,
ternyata Demang Kesawen tidak jera. Pada pisowanan yang akan datang dia berkeinginan
untuk kembali melakukan kegiatan latihan bela diri di Alun - alun kawedanan.
Untuk itu dia mengajak musyawarah dua orang kepercayaannya yaitu Jagabaya[5] dan
Komprang. Hasil rembugan tersebut adalah : Krincing, Dipomenggolo dan Keling
akan ikut lagi dalam pisowanan. Untuk itu Komprang akan membuat kegiatan
latihan bela diri menjadi sebuah tarian dengan diiringi tetabuhan / musik.
Akhirnya terbentuklah tim kesenian yang terdiri dari para prajurit kademangan
dengan susunan :
1. Komprang sebagai sutradara
2. 4 (empat) orang prajurit sebagai pemukul bunyi-bunyian
3. 1 (satu) orang prajurit sebagai kemendir[6]
4. 2 (dua) orang prajurit sebagai pemencak[7]
5. 4 (empat) orang prajurit lainnya sebagai pengombyong[8].
Pada waktu pisowanan,
gerak bela diri yang disamarkan dalam bentuk tarian dan musik oleh para
prajurit Demang Kesawen terbukti tidak menimbulkan kecurigaan dan kemarahan
Adipati Karangdwur. Mereka dianggap sebagai sebuah kelompok kesenian biasa,
padahal dibalik penyamaran itu mereka adalah pengawal pilihan dari Demang
Kesawen. Semenjak itulah setiap pisowanan ke Kadipaten Karangdwur, Demang
Kesawen selalu membawa “Kelompok Kesenian”-nya yang terdiri dari para
pengawalnya. Setiap kelompok kesenian ini tampil di acara pisowanan, banyak
petinggi Kadipaten yang ikut menontonnya. Hingga Adipati Karangdwur meminta
kepada Demang Kesawen untuk melestarikan kesenian tersebut sekaligus menanyakan
apa nama kesenian yang mereka bawakan. Demang Kesawen yang merasa tidak tahu menyerahkan
jawabannya kepada Jagabaya. Jagabaya menamai kesenian ini Cingpoling. Diambil
dari nama 3 (tiga) orang pengawal Demang, yaitu :
Dari nama Krincing
diambil suku kata terakhir “CING”
Dari nama
Dipomenggolo diambil suku kata terakhir “PO”
Dari nama Keling
diambil suku kata terakhir “LING”
Sepulang dari Kadipaten, Demang Kesawen mengadakan
syukuran yang meriah untuk merayakan diterimanya Kesenian Cingpoling oleh
Adipati.
Fungsi Kesenian Cingpoling
Pada masa lalu, kesenian ini dipergunakan sebagai pengantar Demang Kesawen dalam
melakukan pisowanan. Namun karena terjadi pergantian struktur pemerintahan yang
dilakukan oleh penjajah Belanda dan Jepang membuat kegiatan pisowanan tidak
lagi dilaksanakan. Pada saat itulah Cingpoling merubah diri menjadi kesenian
yang dilakukan oleh masyarakat sebagai bagian dari kekayaan seni dan budaya.
Kesenian ini kemudian menjadi sajian pada kegiatan-kegiatan seperti : menyambut
tamu, pernikahan, khitanan dan lain-lain, hingga saat ini.
Penari
Penari Cingpoling saat
ini adalah masyarakat yang berkeinginan untuk melestarikan kesenian tersebut.
Jumlah penari biasanya terdiri dari 9 (sembilan) orang dengan perincian :
1. 1 (satu) orang sebagai kemendir / pembawa payung
2. 2 (dua) orang sebagai pemencak
3. 2 (dua) orang sebagai pengiring
4. 2 (dua) orang sebagai penabuh ketipung
5. 2 (dua) orang sebagai penabuh kêcrék
Profil Grup Cingpoling “Tunggul Wulung”
Grup Kesenian
Cingpoling “Tunggul Wulung” berada di Desa Kesawen Kecamatan Pituruh dengan
pimpinan Bapak Simun. Grup ini telah berdiri sejak tahun 1957. Didirikan untuk
melestarikan kesenian Cingpoling agar tidak punah. Hingga sekarang grup ini
masih eksis walaupun para anggotanya telah berusia lanjut.
Perlunya
Pelestarian
Cingpoling sebagai sebuah kesenian
asli dari Kabupaten Purworejo yang semakin lama semakin sedikit peminatnya,
memberikan kepada kita sebuah pesan bahwa kesenian akan lestari jika kita mau
dan mampu untuk menjaganya. Pelestarian Cingpoling yang dilakukan oleh warga
Kesawen patut kita apresiasi. Sementara uluran tangan dari pihak terkait untuk
lebih mengenalkan dan membantu pelestarian kesenian ini menjadi sangat
mendesak.
[2]Sebuah tradisi dalam
struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Jawa, di mana para bawahan adipati/raja
datang (sowan) ke istana untuk melaporkan perkembangan daerah yang dipimpinnya.
Pisowanan bisa dikatakan sebagai wujud pertanggungjawaban pemimpin-pemimpin daerah
kepada pimpinan diatasnya. Setelah mendengarkan laporan dari para bawahannya, adipati/raja
biasanya akan memberikan nasehat, teguran, ataupun perintah bagi masing-masing
pemimpin daerah.
[3]Pemerintahan dengan kekuasaan setingkat dibawah
Kerajaan.
[4] Kesawen kemungkinan besar
masuk wilayah Kadipaten Karangduwur (yang meliputi wilayah Kemiri, Pituruh dan
sekitarnya.)
[5]Pejabat Kademangan yang bertanggungjawab
terhadap Keamanan.
seperti apa ya? kok belum pernah lihat... BTW menarik dan bikin penasaran.
BalasHapusbisa bisa mas........
BalasHapusdateng aja ke kesawen.
aq bangga jadi orang kesawen cuy..
BalasHapuspertama kali menyaksikan pertunjukan tarian ini, saya benar2 merasa terkejut dan terharu .. betapa kayanya budaya kesenian bangsa kita .. kususnya Purworejo dan Pituruh sbg pertiwi bagi lahirnya kesenian Cing Po Ling,,Dgn kesederhanaan gerak dan musik iringan namun mampu membangkitkan " RASA " .. terlebih setelah mengamati para penarinya yg sdh sepuh2 .. saya makin terharu aja ... mau sampai kapan kesenian ini bertahan jika tdk ada generasi muda yg turut memperhatikan dan melestarikannya ... HIDUP CING PO LING ... (Y) :)
BalasHapusMantaap
BalasHapus