Desa Somongari adalah suatu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo, + 2 Km ke arah selatan dari Ibu Kota Kecamatan Kaligesing dan merupakan deretan pegunungan Menoreh yang terkenal dengan penghasilan buah durian, manggis dan kokosan/langsep.
Desa tersebut juga mengukir sejarah bangsa yakni seorang pencipta Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya“ Wage Rudolf Soepratman yang lahir di Dukuh Trembelang Desa Somongari.
Jolenan adalah sebuah nama upacara merti desa Keba Palawija yang menggunakan media jolen sebagai wadah atau tempat meletakkannya tumpeng dan ayam panggang. Jolen itu sendiri semacam keranjang dengan alas atau dasar empat persegi dan diberi tutup berbentuk piramida. Ledre dan Binggel diikat dan digantungkan pada ujung sebilah bambu, ditancapkan di sekeliling jolen yang menghiasi. Mengandung maksud merupakan perwujudan /gambaran bahwa daerah pegunungan Somongari kaya akan hasil bumi, baik dari hutannya maupun lain-lainnya.
Adapun yang melatar belakangi kepercayaan masyarakat Desa Somongari dengan selalu melaksanakan kegiatan merti desa tersebut, adalah sebuah legenda ;
Pada jaman dulu, kurang lebih sejaman dengan Majapahit, daerah yang sekarang kita sebut Desa Somongari merupakan daerah hutan belantara yang sama sekali tidak seorang manusiapun berani menempatinya. Kita ibaratkan dengan bahasa Jawa : Sato mara sato mati, janma mara janma mati, Dewa mara keplayu. Yang artinya, “segala binatang bila mendekat mati, semua manusia bila mendekat juga akan mati, pergi dari daerah itu”. Hal ini disebabkan karena tempat itu banyak didiami makluk halus yang konon amat membahayakan. Sehingga tak ada orang atau seekor binatangpun yang berani memasuki daerah tersebut.
Konon kabarnya pada jaman Majapahit, terjadi suatu peperangan antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Pajajaran yang terkenal dengan nama perang Bubat. Pada saat itu, diantara prajurit kerajaan Majapahit ada yang berjalan melalui daerah yang sekarang dinamakan Desa somongari. Barisan prajurit tersebut dipimpin oleh Adipati Singanegara, Pangeran Lokajaya dan seorang lagi Pangeran Purwokusumo. Rombongan tersebut beristirahat di daerah itu sampai beberapa saat lamanya. Karena dirasa enak beristirahat di tempat tersebut, maka Adipati Singanagara dan para prajurit diperintahkan untuk terus bermukim di situ. Dan pula diperintahkan untuk menebang hutan-hutan sedikit demi sedikit untuk tempat tinggal.
Di depan diceriterakan bahwa tempat tersebut adalah suatu tempat dimana di daerah tersebut adalah daerah yang gawat, karena makluk-makluk halus yang berkuasa di situ sangat buas.
Ternyata diantara prajurit yang menebang kayu banyak yang mati atau hilang karena perbuatan makluk-makluk halus. Setelah diketahui oleh Adipati Singanegara beberapa kali tentang kejadian tersebut, maka bersemedilah Adipati Singanegara. Beliau bersemedi dalam bulan Sura sampai dengan bulan Sapar. Di dalam semedi itu, Adipati Singanegara diganggu oleh para makluk halus terutama oleh rajanya yang menurut keterangan amatlah sakti. Namun demikian raja makluk halus tersebut dapat ditaklukkan. Karena kekalahan yang diderita raja makluk halus itu, maka tepat pada bulan Sapar, hari Selasa Wage, menyerahkan daerah kekuasaannya kepada Adipati Singanegara. Makhluk halus tak akan mengganggu lagi walaupun daerah itu akan dijadikan suatu kerajaan, malahan akan membantu segala usaha Adipati Singanegara, dengan perjanjian agar mereka diberi sesaji pada waktu-waktu tertentu.
Konon khabarnya, setelah Adipati Singanegara dapat menkalukkan makluk halus, maka dimulailah penebangan hutan, pengaturan daerah sehingga Adipati Singanegara ditunjuk sebagai pimpinan daerah tersebut. Dan langsung menempati daerah itu beserta para prajurit dan keluarganya. Mulai saat itu, daerah tersebut merupakan daerah yang baik, tenteram, aman, panjang punjung loh jinawi, gemah ripah, tata raharja.
Kemudian Pangeran Lokajaya dikawinkan dengan puteri Adipati Singanegara (yang kemudian Pangeran Lokajaya terkenal dengan sebutan Mbah Somongari). Pangeran Purwokusumopun bertempat tinggal di situ. Beliau mempunyai dua orang anak, seorang putra dan seorang putri. Ke dua orang tersebut sampai tua tidak mau bersuami istri. Yang putra tak mau beristri kalau tidak sama dengan saudaranya perempuan. Demikian pula sebaliknya yang putri, akhirnya kedua orang tersebut meninggal tanpa sebab. Maka makam ke dua orang tersebut juga dijadikan satu tempat yang sampai sekarang terkenal dengan nama Makam Kedono-Kedini, yang akhirnya menjadi pepunden rakyat Desa Somongari.
Untuk memperingati kemenangan Adipati Sanganegara berperang melawan raja makluk halus, pada setiap hari Selasa Wage pada bulan Sapar tiap dua tahun sekali dirayakan upacara yang dikenal dengan kegiatan Merti Desa Kebo Palagumantung / Palawija dan lebih terkenal dengan sebutan Jolenan. Dan upacara selamatan desa tersebut ditempatkan di halaman Makam Kedono-Kedini dengan menampilkan atraksi kesenian Tayub dan kesenian lain asal desa Somongari.
Persyaratan dan kelengkapan yang biasa digunakan sebagai upacara tersebut antara lain:
1. Nasi tumpeng dengan ayam panggang
2. Makanan dari beras ketan/pulut, berupa
- Juadah
- Rengginan, dll
3. Makanan dari ketela pohon, berupa :
- Ledre
- Binggel, dll
4. Wayang golek
5. Pisang agung/raja
6. Tayub/Janggrung
Arti dari persyaratan tersebut antar lain, memaknai :
1. Nasi tumpeng dan ayam panggang
Mempunyai pengharapan segala cita-cita/maksud dari dasar sampai setinggi mungkin agar dapat terlaksana dengan baik
2. Makanan dari beras ketan/pulut :
Memberikan gambaran, agar rakyat bersatu padu seia sekata dalam segala langkah dan cita-cita.
3. Makanan dari ketela pohon ;
- Ledre : melambangkan bahwa daerahnya yang terdiri dari pegunungan namun hasilnya dapat mencukupi kebutuhan rakyatnya serta dapat di eksport ke lain daerah.
- Binggelan : dapat digambarkan dengan bermacam-macam tiruan hasil buah-buahan yang terdapat di daerah tersebut.
4. Wayang golek : melambangkan, agar kita mencari (goleki) arti/maksud sebenarnya.
5. Pisang agung raja adalah buah pisang yang dianggap nomor satu/agung dengan harapan dapat mengagungkan/mengangkat desa tersebut.
Adapun makanan dan perlengkapan selamatan yang tersebut pada nomor satu sampai dengan nomor lima ditempatkan di suatu tempat yang disebut “ Jolen ‘.
6. Tayub, melambangkan : di tata supaya guyub dan diujudkan dengan seorang penari yang menari-nari dengan dikerumuni banyak orang dengan maksud agar masyarakat selalu rukun mempunyai satu pandangan yaitu guyub.
Persyaratan yang berupa makanan, sebelum di-ikrarkan dan dimakan menurut tata cara, diadakan suatu upacara sesuai dengan adap daerah tersebut. Adapun yang setiap saat dijalankan adalah sebagai berikut ;
1. sebelum saat yang ditentukan (biasanya dimulai jam 09.00), maka jolen yang diikuti oleh masyarakat dan jenis-jenis kesenian yang ada, berdatangan ke halaman pepundhen Kedono-Kedini.
Menurut kebiasaan Jolen yang yang diadakan sesuai dengan banyaknya pedukuhan yang ada. Setiap pedukuhan biasanya mengeluarkan dua buah jolen, dan secara keseluruhan kurang lebih berjumlah 80-100 buah .
Setiap kesenian yang dikirimkan secara bergantian dengan grup kesenian yang lain harus mempersembahkan kebolehan grupnya di halaman makam Kedono-Kedini + 30 menit.
2. Setelah berkumpul di halam Pepundhen Kedono-Kedini, upacara dimulai dipimpin/diatur oleh kepala desa beserta perangkat dan panitia lainnya.
3. Kecuali pituah-pituah dari kepala desa, biasanya diadakan pula sambutan-sambutan dari pejabat kabupaten diantaranya Bupati.
4. Selanjutnya diadakan pawai (arak-arakan) melalui jalan-jalan di sekeliling tempat upacara atau kampung.
5. Pawai didahului oleh rombongan kepala desa beserta stafnya, kemudian jolen-jolen dan rombongan grup-grup kesenian secara berselang-seling.
6. Setelah pawai berkeliling melalui jalan-jalan yang sudah ditentukan, maka pawai kembali lagi ke halaman pepundhen Kedono-Kedini.
7. Begitu jolen diturunkan, maka diadakan perebutan makanan biasanya oleh semua pengunjung.
8. Sedangkan tumpeng dan ayam panggang, sebagian digunakan selamatan di situ dengan diawali keterangan maksud dan tujuan diadakannya selamatan oleh juru kunci yang diberi kuasa pepundhen tersebut. Lalu dibacakan doa secara agama Islam yang akhirnya dimakan bersama-sama. Sebagian tumpeng dan ayam panggang dibawa pulang oleh pembawa jolen masing-masing.
9. Upacara diteruskan dengan kesenian Tayub. Biasanya seorang penari yang disebut Tayub yang sedang menari lalu diimbangi menari oleh para kaum pria yang didahului oleh kepala desa.
10. Bersamaan tayub, maka semua kesenian yang mengikuti pawai diharapkan untuk bermain / dipentaskan di halaman terbuka.
Adapun kesenian yang terdapat di daerah tersebut yang biasa mengikuti upacara antara lain : kentrung, reog, kuda kepang, incling dan dolalak.
Upacara tersebut diakhiri pukul + 15.00
Untuk menghibur kelelahan siang harinya, biasanya pada malam harinya diadakan suatu pentas kesenian yang utama adalan tayuban
Update : Jolenan biasanya dilaksanakan pada Selasa Wage, namun jika pada bulan Sapar tahun tersebut tiudak ada hari itu, maka diganti dengan hari Selasa Pon.