Kesenian Cingpoling menggambarkan prajurit yang sedang latihan perang. Tema ini tetap bertahan sampai sekarang. Kesenian Cingpoling merupakan kesenian tradisional sejenis atau reogan mengalami perkembangan sebagai tari perang dan bertemakan tentang kepahlawanan. Biasanya yang diambil dalam kesenian jathilan, reog maupun sejenisnya adalah cerita panji, namun kesenian Cingpoling di Desa Kesawen, Kec. Pituruh memiliki ciri khas yaitu tentang keprajuritan sebagai pengawal.
Kesenian ini diperkirakan muncul pada abad XVII. Bermula dari kegiatan pisowanan ke kraton yang dilakukan oleh Ki Demang. Dimana pada saat menunggu pisowanan, para pengawal Ki Demang melakukan permain dengan menggunakan gerakan-gerakan keprajuritan.
Asal mula nama Cingpolingterdapat beberapa versi, dua diantaranya adalah
Pada perkembangannya, kesenian Cingpoling peraganya terdiri dari :
1. Kelompok pertama terdiri dari : 4 (empat) orang penari yang berperan : 1 orang sebagai Ki Demang, 2 orang sebagai pendamping (gandhek), 1 orang penyongsong.
2. Kelompok kedua terdiri dari : 4 (empat) orang penabuh yang terdiri dari 3 (tiga) orang berperan sebagai penabuh bendhe dan 1 (satu) orang sebagai juru tiup slompret.
3. Kelompok ketiga terdiri dari : 9 (sembilan) orang yang terdiri dari : 1 (satu) orang pemayung, 2 (dua) orang pemencak, 2 (dua) orang pendamping, 2 (dua) orang penipung, 2 (dua) orang pengecrek.
Penyelenggaraan di ruang terbuka, misalnya lapangan, halaman depan rumah. Walaupun pada awalnya hanya di lingkungan kadipaten tempat pisowanan berlangsung. Penonton dan penari dalam jarak yang dekat. Diurasi waktu pementasan sekitar 1 - 2 jam. Namun karena pertimbangan dan perkembangan, bisa dipadatkan menjadi ½ jam.
Keterangan :
pisowanan : adalah sebuah tradisi dalam kerajaan-kerajaan Jawa, di mana bawahan-bawahan raja / sultan datang (sowan) ke istana untuk melaporkan perkembangan daerah yang dipimpinnya. Pisowanan boleh dikatakan merupakan sebuah wujud pertanggungjawaban pemimpin-pemimpin daerah kepada raja. Setelah mendengarkan laporan dari para bawahannya, raja/sultan biasanya akan memberikan nasehat, teguran, ataupun perintah (titah) bagi masing-masing pemimpin daerah.
Tulisan ini telah diterbitkan edisi revisinya untuk membaca silahkan klik disini.
Tulisan ini telah diterbitkan edisi revisinya untuk membaca silahkan klik disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar